Minggu, 03 Maret 2013

Hikari's Time


So, this is one of the side stories, I decided to make it first.
I'm sorry it's in Indonesian.


Hari itu adalah waktu di mana semuanya menjadi masuk akal. Tidak, mungkin tidak bisa dibilang seperti itu. Justru hari itu adalah hari di mana aku menyadari bahwa tidak ada yang masuk akal di dunia ini. Mimpi, cita-cita, khayalan, takdir, cinta, kasih sayang, kehangatan, apa maksud dari kata-kata tersebut ya? Pergi dan kembali, terus menerus, berputar-putar dan berulang-ulang kupikirkan untuk mengetahui arti dari kata-kata tersebut. Tetapi, semakin aku berpikir dan mencoba untuk mengerti, aku malah semakin menjauh dari pengertian sebenarnya. Aku bahkan mulai ragu apakah memang ada pengertian yang benar-benar benar untuk dipasangkan dengan kata-kata tersebut. Sama dengan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang benar-benar benar di dunia ini? Aku tidak tahu, dan aku tidak berpikir aku akan mengetahui hal itu dalam hidupku.
                Hidup itu sungguh sederhana, kita hanya perlu makan, bertahan hidup, dan berkembang-biak. Mungkin memang terdengar agak kasar, tapi bukankah memang dari awal untuk itulah kita hidup? Atau tidak? Yang pasti, hidup itu sederhana, manusialah yang penuh dengan misteri. Sesuatu yang misterius itu tidak akan ada jika tidak ada manusia yang membuatnya menjadi sesuatu yang misterius. Jadi, tidak heran kalau manusialah yang penuh dengan misteri sedari awal. Dengan akalnya, manusia mulai berpikir dan berpikir, mungkin karena memang hanya dengan berpikirlah mereka dapat menggunakan akal mereka. Namun, lama-kelamaan manusia malah mulai ketagihan dengan berpikir. Mempermasalahkan banyak hal di dunia, membuat banyak misteri dalam hidupnya, mempertanyakan alasan kehidupannya. Yah, walaupun mungkin itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Dan pertanyaan paling besar; untuk apa kita diciptakan?
                Dengan asumsi bahwa Tuhan, suatu eksistensi yang melebihi segalanya, itu benar-benar ada dan Dialah yang menciptakan manusia. Coba kita pikir, tingkatan eksistensi manusia sungguh berbeda jauh dengan Tuhan, tentu saja karena memang  Tuhan yang menciptakan manusia, layaknya manusia membuat robot yang digunakan sebagai alat. Mereka bilang walau orangtua yang melahirkan seorang anak, tapi orangtua tidak memiliki hak untuk merenggut kehidupan anak tersebut karena memang dia telah terlahir. Tapi layaknya hubungan robot dengan manusia, hubungan manusia dengan Tuhan bukanlah seperti ayah dan anak. Layaknya manusia yang hanya menganggap bahwa robot hanyalah alat untuk digunakan, apakah memang benar bahwa Tuhan juga hanya melihat manusia sebagai alat? Layaknya manusia yang memiliki hak untuk merebut kehidupan robot, apakah memang benar bahwa Tuhan juga memiliki hak untuk merebut kehidupan manusia?
Sekali lagi, semakin aku berpikir, semakin aku tak mengerti dan semakin aku jauh dari apa yang aku pikirkan. Setiap suatu memiliki hubungan dengan suatu lainnya, namun tak memiliki akar. Sungguh suatu kesalahan jika aku malah mencari setiap cabang yang terhubung kepada suatu tersebut yang aku jadikan inti. Semakin aku berpikir, semakin aku menyusuri cabang, yang aku temukan hanyalah cabang dan cabang lagi, tiada akar atau inti biji. Seperti itulah dunia, kurasa. Tapi, aku juga tak bisa berhenti berpikir. Karena seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, akalku hanyalah dapat digunakan untuk berpikir.
                Kembali lagi ke waktu itu. Kalau aku pikir-pikir lagi, waktu itu mungkin adalah waktu teraneh yang aku alami sejauh ini. Pengalaman yang sungguh menarik walaupun tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupanku yang sangat biasa. Tidak, mungkin itu adalah pengalaman yang memiliki pengaruh paling besar terhadap hidupku sampai aku tak begitu merasa terpengaruhi, karena satu-satunya hal yang terpengaruh adalah caraku melihat dunia ini. Bagaimana caraku melihat dunia ini? Tentu saja dengan caraku sendiri. Bagaimana dengan sekarang? Tentu saja masih dengan caraku sendiri, namun perubahan fundamental pada caraku melihat dunia ini tidak merubah label bahwa bagaimana caraku melihat dunia ini adalah caraku sendiri. Memusingkan, memang.
                Siang yang sungguh terik, begitu pikirku sambil menahan sinar matahari memasuki mataku dengan bayangan yang dibuat tangan kananku sendiri. Surga yang sungguh kecil, hanya cukup untuk menutupi sebagian mukaku. Aku terus mengeluh dan mengeluh, untuk apa sinar matahari diciptakan sepanas ini. Tentu saja itu hanyalah pertanyaan konyol, namun tetap saja aku tak bisa menahannya ketika aku diterjang neraka yang besar dengan hanya pertahanan yang sangat kecil. Tapi ini juga salahku karena tidak membawa apapun dari rumah. Kalau saja aku setidaknya membawa topi, mungkin setidaknya aku bisa melihat ke depan dengan jelas.
“....Pa....Naaaaaaaas....”
Keluhku sambil menurunkan lenganku dengan lesu. Keringat telah membasahi sekujur tubuhku, membuat seluruhnya agak lengket dan tidak nyaman. Aspal yang kupijaki juga mengeluarkan hawa panas. Bahkan suara jangkrik yang seharusnya bisa terdengar merdu sekarang malah seperti kesakitan terserang oleh panas ini.
Di depanku, anak-anak terlihat dengan senangnya berlari-lari di cuaca yang sangat panas seperti ini. Dan mereka sambil memegang es krim di tangan mereka. Walaupun di depanku adalah toko manisan yang menjual es krim, tetap saja aku tidak bisa membelinya karena aku tidak memiliki uang. Aku hanyalah seorang pelajar SMA yang tak memiliki pekerjaan sambilan dan hanya bergantung pada uang saku yang diberikan oleh orangtua, jadi aku benar-benar tak mempunyai pilihan untuk menahan hausku. Tapi, walaupun begitu, melihat mereka dengan segarnya malah makin membuat diriku putus asa dan semakin haus.
Ahh, mereka berlari ke arahku. Lalu salah satu dari mereka melihatku dengan tampangnya yang sangat polos, yang mungkin juga kebingungan. Mulutnya terbuka lebar, hidungnya mengeluarkan cairan ingus yang lumayan banyak, hampir masuk ke mulutnya. Ia memegang es krim yang sedang dalam proses pelelehan oleh panas alami.
                Aku tersenyum aneh sambil melambaikan tanganku, lalu menunjuk tangannya.
“Hey, dik, kalau tak mau kau makan, boleh buatku saja?”
Tanpa bilang apa-apa, dia menggerakan kepalanya dan melihat tangannya yang basah karena lelehan es yang ia pegang. Setelah terdiam sejenak, dia pun melihat kembali kepadaku dan—
“Weeeeek!!” Dan anak itu pun lari mengejar teman-temannya.
Aku menundukkan kepalaku menghadap jalan dan menjatuhkan tanganku yang tadinya masih di udara menunjuk es krim yang sudah pergi. Dunia memang kejam. Walaupun mungkin konten di mana seharusnya kalimat seperti itu dikatakan berbeda, tetap saja dunia memang kejam. Oh, apakah Tuhan memang telah membuangku di saat-saat seperti ini. Mungkin ini juga salahku yang memang tidak pernah meminta atau menyembah Tuhan di saat-saat senang. Tapi tetap saja, bukankah Tuhan tidak pernah meninggalkan makhluk ciptaannya dalam penderitaan? Oh, aku tidak bisa membedakan keringatku dengan airmataku sekarang.
Saat aku masih berpikir hal-hal gelap seperti itu, sebuah bayangan menutupiku dari sinar matahari. Aku pun menoleh ke sampingku, merasakan bahwa ada seseorang yang berdiri di sana.
“Bidadariku!” Teriakku ketika aku melihat seorang gadis sedang memegang sebuah parasol untuk melindungi tubuhku dan tubuhnya dari sinar yang tak kenal ampun tersebut.
Perempuan itu hanya tersenyum dengan manis mendengar gombalanku. Yah, kalau itu memang bisa disebut sebagai gombalan. Dia pun lalu menyodorkan tangannya yang satu lagi yang sedang memegang sebuah botol minuman dingin, teh hijau lebih tepatnya.
“Silahkan.” Gadis itu berkata dengan lembut. Suaranya yang lemah gemulai mudah terdengar karena terbawa oleh angin. Parasnya yang cantik dengan matanya yang bulat dan bibirnya yang tipis membuatku terpaku untuk sesaat menatapnya. Rambutnya yang bergoyang diayun oleh angin sungguh terlihat cocok berdampingan dengan dirinya. Tubuhnya yang langsing dan proporsional pun juga salah satu kelebihan utama gadis ini.
                Aku pun menjulurkan tanganku untuk mengambil botol minuman tersebut darinya. Dingin, telapak tanganku yang sedang kehausan pun merasa terpuaskan dengan bersentuhannya kulit paling luarnya dengan kulit paling luar botol tersebut. Dinginnya pun merambat ke dalam kulit, menjulur ke sekitar tangan. Tanpa ragu, aku pun membuka tutup botol tersebut dan meminum isinya. Sungguh menyegarkan, rasa haus mulai sirna dari kerongkonganku yang sudah hampir kering diterjang hawa panas bumi.
“Puaaaaah... Kau memang penyelamat jiwa. Terima kasih banyak, Akari.” Kataku sambil tersenyum setelah menutup kembali botol tersebut dan mengembalikan botol tersebut kepada gadis itu. Gadis itu pun tersenyum manis sambil menempatkan tangannya menyelimuti tanganku untuk mengambil botol minuman yang kupegang. Tangannya sungguh halus dan lembut. Sungguh suatu yang abnormal pula tangannya tidak berasa terlalu panas di tengah hari seperti ini. Yah, atau mungkin memang karena seluruh tubuhnya dilindungi oleh parasol sedari awal. Perlahan, ia mulai menarik botol itu dari tanganku dan membuka tutup botol itu lalu meminumnya dengan khidmat. Sungguh pemandangan yang tak biasa kau lihat. Pemandangan yang benar-benar khidmat dengan setitik air yang mengalir melalui lehernya, membentuk jalan bercabang membasahi kulit bagian luarnya. Matanya tertutup, terlihat sangat menikmati puasnya dahaga yang ditahan. Bibirnya menempel pada bibir botol, kerongkongannya menelan dengan pola yang dapat disadari dengan mudah, layaknya degup jantung. Dia pun menurunkan botol tersebut dan menutupnya kembali. Ia lalu menoleh kearahku dengan wajah merah merona dan tersenyum kepadaku.
“Umm! Benar-benar segar ya, Hikari.” Katanya dengan ceria. Aku pun ikut tersenyum bersamanya.
“Baiklah, mari kita pergi sekarang.” Aku lalu menggapai tangan Akari dan memegangnya dengan erat dan tanganku yang satu mengambil parasol Akari untuk membawanya. Akari pun menggenggam tanganku dengan erat juga. Tangan yang sungguh halus bagaikan diuntai oleh benang sutra dan dibuat dari kain wool. Tangan yang sangat hangat yang mampu mengusir semua hawa dingin di dalam hati. Yah, memang agak berlebihan, tapi memang sebegitu bahagianyalah aku sekarang.
Sehari sebelum ini, aku mengajak Akari untuk berkencan, dan dengan sangat bahagianya, dia pun menerima ajakanku. Akari adalah pacarku dari beberapa minggu yang lalu. Kami dulu pertama bertemu  di kelas satu SMP, dan kami pun masuk ke dalam SMA yang sama. Parasnya yang lembut dan anggun serta sikapnya yang selalu positif dan ceria selalu menemukan celah untuk membuatku jatuh cinta kepadanya. Karena itu, beberapa minggu yang lalu pun aku memberanikan diriku untuk menembaknya. Tapi tidak, mungkin bukan beberapa minggu yang lalu.
Kami sampai di suatu mall sambil bergandeng tangan. Karena di dalam ruangan, aku pun telah menutup parasol yang Akari bawa dan Akari menyimpannya dalam tas kecil yang ia bawa. Walaupun hanya melihat-lihat, aku benar-benar bahagia hanya dengan melihat wajah Akari di sampingku saat ini.
“Hei, hei, Hikari, bukankah ini lucu sekali?” Kata Akari memulai pembicaraan sambil memegang suatu boneka.
“Tentu, kau menginginkannya?”
“Ahh, harganya mahal sekali.”
“Mana coba lihat.” Aku menjulurkan tanganku untuk meraih boneka tersebut, namun Akari menariknya dari jangkauanku.
“Tidak boleh! Harganya mahal.”
“Bukannya tadi kau bilang lucu?”
“Bukan berarti aku menginginkannya, lho!” Akari lalu menaruh boneka tersebut ke raknya kembali.

                Kami pun berjalan-jalan dan menikmati waktu kencan kami. Sampai pada akhirnya kami sampai di suatu toko elektronik yang besar. Akari mengatakan belakangan ini dia membutuhkan laptop untuk membantunya menulis. Akari sangat suka menulis dengan khayalannya yang tak dapat ditandingi oleh orang lain. Namun entah mengapa, aku tidak terlalu suka melihatnya menulis.
*DOR
“JANGAN BERGERAK!! INI ADALAH PERAMPOKAN!!” Setelah terdengar suara letusan senjata api, beberapa orang dengan topeng menempel di wajah mereka pun menodongkan pistol mereka kepada orang-orang yang ada di dalam toko tersebut. Mereka lalu mengumpulkan orang-orang di dalam toko sebagai sandera sampai polisi pun datang.
Akari memeluk tanganku dengan khawatir. Situasi ini bukanlah situasi yang biasanya orang duga. Terlibat dalam suatu perampokan bukanlah hal yang menyenangkan, baik di sisi sandera, polisi, maupun perampok itu sendiri. Karena itu, kami semua menjadi tegang dan panik dalam hati kami. Terlihat ketakutan dari semua orang yang dikumpulkan menjadi sandera. Badan mereka pun gemetaran tak karuan, termasuk diriku dan Akari.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka menarik Akari. Tentu saja aku mencoba melawan, tapi orang itu segera memukulku begitu aku mencoba menahan Akari. Orang itu lalu membawa Akari ke depan pintu dan menodongkan senjatanya kepada Akari sambil mengucapkan kata-kata kasar kepada polisi-polisi yang mengepung mereka. Keadaan menjadi tambah panas, orang-orang telah kehilangan kesabaran mereka. Keputus-asaan menyampari setiap orang yang berada di sekitar tempat kejadian. Lalu,
*DOR
Orang itu pun menembak Akari, tepat di kepalanya. Keadaan tambah menjadi ribut, namun aku tak bisa mendengar apa-apa. Waktu berjalan menjadi makin lambat, memperlihatkan adegan slow-motion Akari jatuh ke lantai dengan darah mengalir dari kepalanya. Aku hanya melihatnya tanpa berbuat apa-apa dengan mata yang terbuka lebar. Warna merah darah dari kepala Akari mulai membuatku mual.
*BRUK
Tubuh Akari yang sudah tak memiliki nyawa dan senyumannya itu pun terbaring di atas lantai dengan darah yang merambat menuju setiap arah.

                Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Namun, aku tak akan dapat menerima pemandangan yang serupa seberapa kali pun diulang di depan mata kepalaku sendiri. Aku tidak mau terbiasa, aku tidak akan pernah terbiasa. Melihat hal-hal yang tak ingin kau lihat, dipaksa memakan hal yang memuakkan, semuanya hanya akan membuat dirimu ingin memuntahkan segala yang telah kau simpan. Layaknya apa yang terjadi, mau berapa kali pun, aku tak mau menerimanya, aku tidak akan pernah bisa menerimanya.

Aku lalu membuka mataku dan menyadari bahwa aku sedang tertidur di atas meja. Aku meluruskan badanku dan melihat Akari duduk di depanku sedang menulis sesuatu di bukunya. Sosoknya terlihat sangat serius dan khidmat, namun ada tanda kesedihan dan kesepian yang tertanam di dalam dirinya. Walaupun ini terdengar tidak pantas, aku harus mengatakan bahwa ekspresi sedih tersebut sangat cocok dimiliki oleh Akari. Dan karena itu pula, aku tidak begitu suka melihatnya menulis.

Kami berada di dalam perpustakaan dalam sekolah, hari Kamis, 2 hari sebelum hari libur.
“Hey, Akari.” Aku memanggilnya yang sedang menggerakkan jarinya mengendalikan pensil.
“Ya?” Hikari menjawab dengan lembut tanpa memalingkan pandangannya kepada buku tersebut.
“Lusa, apa kau bebas?”
“Ya, ada apa?”
“Apa kau mau... Pergi kencan pada hari itu?” Aku menjawab dengan malu-malu. Ini adalah salah satu aturannya.
“!!” Dia segera menoleh ke arahku dengan muka yang terkejut sekaligus senang.
“Tidak mau...?” Aku berkata dengan ragu-ragu.
“Tidak!! Tentu saja aku mau!! Aku mau!!” Dia menganggukkan kepalanya sekuat tenaga dengan wajah yang dihiasi oleh warna yang merah merona. Dia benar-benar terlihat sangat senang dengan senyumnya yang sangat lebar di wajahnya.

                Sabtu, hari di mana aku berkencan dengan Akari. Sambil menunggu di depan toko permen yang paling terkenal di daerahku, aku menahan haus yang menyerangku sampai akhirnya Akari datang dengan Parasol dan minuman dingin.
“Maaf ya. Apa kau menunggu lama?” Katanya dengan sangat lembut dan wajah yang memelas manis.
“Tidak kok, aku juga baru datang.”   Impian setiap pria, mengatakan hal yang seperti itu. Aku pun juga tak akan pernah bosan mengatakan itu berapa kalipun.
“Baiklah, ayo kita pergi, Hikari.”
Aku menggapai tangan Hikari dan menggenggamnya, lalu berjalan menuju laut. Kencan kami kali ini adalah melihat pemandangan laut sambil memakan Crepe yang telah kami beli. Sambil berdiri di belakang papan penjaga agar tak ada yang jatuh ke atas karang, kami melihat ke kejauhan dan berbincang-bincang dengan riangnya. Sampai akhirnya, aku membawa topik yang seharusnya tidak pernah kubawa.
“Keluargamu... Bagaimana?”
Senyumnya terhenti, ia menutup mulutnya dan menurunkan Crepe yang tadinya dia angkat mendekati mulutnya.
“Tidak ada perubahan. Ayah masih saja tetap menjadi manusia yang tidak berguna. Ibu juga sudah terlihat sangat lelah.”
Kesedihannya pun semakin dalam menusuk hatiku.
“Kau telah mencoba berbicara kepadanya?”
“Belum.”
Baguslah, dia belum berbicara kepada ayahnya yang telah menjadi sampah masyarakat itu.
“Maaf ya, aku malah mengangkat topik seperti ini.”
“Tidak apa-apa. Aku malah senang, karena Hikari perhatian kepadaku.” Ia berkata sambil tersenyum dengan sangat manis sambil diiringi angin yang membuai dari laut. Senyum yang sangat manis yang dapat membuatku terdiam dan ingin menghentikan waktu. Senyum yang sangat manis yang tak bisa membuatku bosan.
Akan sangat menyayat hatiku, bila sampai pada saatnya aku harus berhenti melihat senyuman itu.
Dari belakang, seorang anak berlari sambil dikejar oleh orangtuanya.
“Stop! Ken-chaaaan!” Seorang wanita, ibunya berlari dan berteriak dengan wajah yang khawatir.
“Ahahahaha! Tangkap aku, ibu!” Anak itu berlari ke arah kami dengan riangnya sambil melambai dan melihat ke arah ibunya yang berlari di belakangnya. Wajah yang sangat polos dengan senyumnya yang sangat ceria, kebalikan dari ibunya yang berlari dengan muka lelah dan panik.
Di satu titik, anak itu kehilangan keseimbangan dan jatuh terselengkat. Batu? Tanah yang licin? Kakinya sendiri? Aku tidak tahu apa yang membuatnya jatuh. Aku tidak perduli. Satu-satunya hal adalah tempatnya akan mendarat; tepat di belakang Akari.
Dengan berat anak tersebut, Akari terdorong jatuh melewati batas keselamatan. Sosoknya yang anggun melawan terjangan angin pun perlahan menghilang dari mataku. Senyumnya yang indah bagai bidadari mulai tertarik oleh gravitasi ditemani  oleh Crepe yang sedang dipegangnya. Lagi-lagi, semua terlihat dalam bentuk slow motion yang makin dapat memuakkanku.
*BRUK
Suara yang sangat kencang dan tidak menyenangkan. Tubuh Akari terbaring di atas tajamnya karang dengan darah bercipratan di mana-mana mewarnai pemandangan tersebut. Begitu juga dengan Crepe yang tadinya dipegang oleh Akari. Crepe yang harusnya mempunyai warna yang macam-macam sekarang telah tercat merah pekat dan hancur ke mana-mana. Di saat itu, aku berhenti untuk melihat betapa menyedihkan, indah, kejam, dan bermaknanya pemandangan tubuh Akari yang berlumuran darah.

Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Berpuluh-puluh kali, beratus-ratus kali aku mencoba, namun aku tetap gagal. Beratus-ratus kali, beribu-beribu kali aku mencoba, semuanya tak bisa berubah. Hari itu, Akari tetap kehilangan segalanya. Hari itu, aku tetap kehilangan segalanya.

Menangis dan menangis. Aku hanya dapat menangis di hari itu. Di depan batu nisan Akari yang meninggal karena ditusuk oleh ayahnya sendiri, aku hanya dapat menangis dan menangis. Dunia sangatlah kejam, begitu pikirku. Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, namun aku tidak pernah merasakan kebencian yang sangat-sangat murni pada saat itu. Semua pemandangan yang kulihat berubah menjadi abu-abu. Semua suara yang kudengar hanya terekam sebagai suara bising. Hanya kehampaan yang dapat mengisi hati.
“Tlik” Suara air yang jatuh dengan sangat lembut terdengar dari belakangku.
“Tlik” Pada saat itu, aku hanya dapat mengutuk dunia dan diriku sendiri.
“Tlik” Suara air jatuh di atas genangan lainnya.
“Tlik” Aku menutup mataku dengan segala perasaan terkunci di dalamnya.
“Tlik” Suara air yang dapat mengeluarkan segala kebencianku.
“Tlik” Segala perasaan itupun meluap keluar melewati kerongkongan dan mencapai mulutku.
“Tlik” Suara air yang dapat menghapuskan segala keberadaan.
“Tlik” Dengan perlahan, aku pun mulai membuka bibir dan mulutku.
“Tlik” Suara air yang mampu membuatku mengatakannya.
“Tlik” “Tlik” “Tlik”
“Aku harap aku dapat mengulang waktu.”

Aku terbangun di perpustakaan pada hari Kamis. Aku memandang wajah Akari yang sedang seriusnya menggerakkan pensilnya ke sana kemari, menggoreskan kata-kata yang keluar dari benaknya. Sambil memandang sosoknya yang  terlihat anggun, aku pun terlelap kembali karena sudah lama sekali sejak aku tidur terakhir.

“Tlik” Waktu itu adalah suara titik air jatuh yang kudengar bersamaan dengan suara seorang gadis yang sangat lembut.
“Hai.” Kata-kata pertama dia menyapaku dari belakang. Aku tidak mengerti kenapa dia mulai menyapaku. Aku hanya dapat berbalik dan melihatnya.
“Hey, apa kau percaya kepada keajaiban?” Dia berkata dengan santainya sambil bersandar kepada dinding di tempat parkiran sepeda itu.
“...Mungkin tidak.” Tidak tahu kenapa, aku menjawabnya tanpa adanya kecurigaan sedikitpun kepadanya.
“Mungkin?”
“Tidak, mungkin aku percaya. Hanya saja, aku tidak pernah melihat satu pun keajaiban di dunia ini.”
“Aku mengerti. Jikalau keajaiban pun benar-benar ada, keajaiban tersebut hanya akan didapatkan oleh siapa yang berhak mendapatkannya, bukankah begitu?”
“...Mungkin seperti itu.” Aku pun berbalik untuk berjalan menuju kelas sampai akhirnya aku ingat sesuatu. Aku berbalik kembali untuk melihat gadis tersebut dan bertanya; “Siapa namamu?”
Dia menjawab ; “Arisa. Ingatlah Hikari, keajaiban ada tergantung siapa yang mempercayainya, atau tidak ada sama sekali.”
Aku berbalik kembali untuk menuju kelas lagi, namun dengan segera aku mengingat bahwa aku tidak pernah memperkenalkan diriku sendiri. Aku berbalik lagi sambil berkata; “Hey, dari mana kau—“ Namun, dia tidak terlihat di manapun.

Itulah pertemuan pertamaku dengan Arisa yang mengubah seluruh persepsi-ku. Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, namun dengan alasan yang sangat berbeda dengan kebencianku saat ini. Dunia yang tak mau membiarkan Akari hidup di kedamaian. Dunia yang selalu memisahkan diriku dengan Akari. Dunia di mana keajaiban mempermainkanku.

                Aku terbangun disinari oleh sinar mentari sore yang berwarna oranye. Di depanku, Akari melihatku dan tersenyum dengan sangat manis. Aku pun tertegun melihatnya. Wanita cantik yang mampu memikat hatiku, dihiasi sinar oranye dari matahari beserta senyumannya yang mampu membuat hatiku luluh.
“Selamat pagi.” Katanya menggodaku.
“Maaf, aku ketiduran.” Aku mengusap-usap mataku.
“Tidak apa-apa. Kau terlihat sangat damai dan imut ketika kau sedang tidur, jadi aku tak tega membangunkanmu.” Dia tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan kepalan kecil tangannya.
“Hey, Akari. Lusa, kau mau pergi kencan denganku?” Aku mengatakannya dengan tenang.

Di tengah jalan, Akari tertabrak mobil, meninggal di tempat.

“Hey, Akari. Lusa, kau mau pergi kencan denganku?”

Di taman, Akari jatuh dan lehernya tertusuk ujung pagar yang lancip, sempat meronta kesakitan lalu meninggal di tempat.

“Hey, Akari...”

Di taman bermain, roller-coaster yang kita naiki terjadi malfungsi dan Akari jatuh di tengah wahana, meninggal di tempat dengan darah terciprat ke mana-mana dengan suara teriakan orang-orang terdengar.

“Hey...”

Di stasiun, Akari terselengkat lalu tertabrak dan terlindas kereta, daging di mana-mana, muntah orang-orang ke mana-mana, bau darah dan teriakan histeris di segala arah.

“Hey, Akari...”
“Ya?” Dia menjawab dengan lembut.
“Keluargamu... Bagaimana?”
“Tidak ada perubahan... Kurasa...” Dia menjawab dengan sedih.
“Ketika ada suatu masalah, kumohon bicaralah kepadaku. Dan aku mohon jangan berhadapan dengan ayahmu jika ada suatu masalah.”

Di rumah Akari, rumah Akari terbakar bersama isinya. Keluarganya selamat, namun Akari mati terbakar karena menyelamatkan keluarganya tersebut.

“Hey, Akari...”
“Ya?”
“...Tidak... Tidak apa-apa.”

Di rumah Akari, Akari ditusuk oleh ayahnya yang sedang mabuk dan emosi.

                Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Namun melihat, mendengar, merasakan Akari tidak berada di sampingku berulang-ulang kali, satu-satunya keajaiban yang kurasakan adalah bahwa aku belum menjadi gila sampai saat ini. Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, karena itu aku telah mencoba lari berkali-kali. Tetapi setiap aku berlari, aku melihat bahwa Akari tidak ikut bersamaku. Sama dengan sekarang, aku tetap berlari dan berlari. Waktu itu aku berpikir, mungkin jika aku kembali lebih jauh, aku akan memperbesar kemungkinanku untuk berhasil menyelamatkan Akari. Karena itulah aku terus berlari kembali.

Beberapa hari sebelum kencanku di hari Sabtu, aku mengajakn Akari untuk berlibur di villa dekat pantai. Awalnya dia tidak yakin untuk ikut, namun karena ini memang sedang libur musim panas, akhirnya dia pun setuju untuk pergi berlibur bersamaku untuk beberapa hari.

“Bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka mengijinkanmu pergi untuk beberapa hari? Walaupun bersama keluargaku, aku tetap laki-laki, lho.”
“Tidak, tentu saja mereka khawatir awalnya, tapi aku berhasil membujuk mereka untuk mengijinkanmu kok.” Katanya sambil tersenyum sipit. Saat itu, aku sempat khawatir apakah dia jujur mengatakan bahwa mereka mengijinkannya untuk ikut bersamaku.
“Lagipula, aku bisa percaya kok kepada Hikari.” Kata Akari sambil menyandarkan kepalanya kepada pundakku. Saat itu, aku merasa udara di sekitarku menjadi panas.

Sesampainya di villa, kami segera menyimpan barang-barang bawaan kami dan melakukan beres-beres. Pada saat aku masih membenahi barang-barangku, Akari keluar dari kamarnya dan segera beranjak keluar.
“Kalau begitu, aku pergi duluan ke pantai ya, Hikari.” Katanya dengan ceria. Benar-benar orang yang semangat dan tidak sabar.
Akari berlari melewatiku sambil membawa tas kecilnya yang kemungkinan berisi baju renangnya. Dag dig dug. Jantungku mulai berdegup kencang saat itu. Aku tidak tahu mengapa, mungkin salah satunya adalah imajinasiku yang mulai menjadi liar ingin cepat melihatnya memakai baju renang. Atau mungkin...
Aku segera membalikkan badanku dan memanggil Akari yang sedang memegang gagang pintu masuk villa.
“Akari!”
“Ya?” Dia menoleh ke arahku dengan wajahnya yang masih bersinar-sinar dengan semangat.
“...Berhati-hatilah.” Aku mengatakannya dengan khawatir.
“Ya!” Dia memutar gagang pintu villa dan menariknya untuk membuka pintu tersebut. Ia pun segera beranjak keluar sambil diterjang oleh cahaya matahari yang menyilaukan. Sangat silau seakan melahap sosok Akari yang sedang berlari kegirangan tersebut.

Tentu saja, seperti yang sebelum-sebelumnya, keajaiban takkan pernah gagal mengejarku. Ini bukanlah nasib buruk, dan aku tak sudi mengatakan bahwa ini takdir. Aku pun tak tahu apakah ini salah satu kehendak konyol Tuhan yang dibiarkan oleh para malaikat, atau permainan sadis iblis yang diacuhkan oleh Tuhan.

Agak lama setelah aku membereskan barang-barangku, orangtuaku masuk ke dalam villa dengan tergesa-gesa. Mereka mengatakan bahwa Akari telah meninggal karena tenggelam di pantai.

“Kalau begitu, aku pergi duluan ke pantai ya, Hikari.”
Akari berlari melewatiku dan aku segera menangkap tangannya dengan wajahku yang penuh dengan kekhawatiran.
“Hikari...?”
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi? Aku ingin menjadi orang pertama yang melihatmu dalam baju renang.” Kataku dengan senyum pahit di muka pahitku.
Wajah Akari memerah. Dia segera menundukkan kepalanya serendah mungkin agar aku tak melihat rona merah tersebut. Dengan tenang, di mengangguk dan segera duduk dengan manis di bangku terdekat.

Di pantai, matahari tanpa halangan apapun  sungguh menyiksa tubuh, terutama bagi tubuh yang belum memakai sunscreen. Namun, walaupun begitu, pemandangan Akari memakai baju renang sungguh terlihat sangat manis dan menyegarkan sampai aku melupakan tubuhku yang seakan terbakar. Melihat tingkahnya yang sangat aktif hanya dapat membuatku tersenyum.
“Sesenang itu kah kau bermain di pantai seperti ini?” Aku berkata kepada Akari.
“Ahh, maaf. Seperti bukan diriku saja, ya.” Dia menjadi lebih diam dan menjaga sikapnya.
“Tentu saja, aku melihatmu sekarang berbeda dengan dirimu di saat lain, tapi itu bukanlah hal yang buruk bukan. Aku malah bahagia melihatmu sesenang itu.”
“Itu karena aku jarang berlibur keluar seperti ini, terutama bersama-sama selain orangtuaku. Selain itu, belakangan ini aku selalu berada di rumah. Karena itu, aku sangat berterima kasih kau mau mengajakku kemari, Hikari.” Dia tersenyum lebar dengan sangat manis. Senyuman yang sangat terang yang dapat menyilaukanku, mengalahkan silaunya matahari yang membakarku saat itu. Namun, walaupun terang, dapat terlihat sejumput kesedihan tercampur di dalamnya. Senyum dan rasa terima kasih yang dapat memberitahuku bahwa dia selalu terpenjara, dikekang dengan ketat oleh orangtuanya yang sangat idealis, menginginkannya untuk menjadi anak yang sangat lebih dibanding anak-anak yang lain.
“Jangan lupa untuk melakukan pemanasan sebelum masuk ke air.”
“Baiiiik~”

Aku keliru. Seharusnya aku mengetahui bahwa Akari adalah orang yang sangat teliti dan hati-hati terutama dalam menjalankan suatu prosedur yang biasanya dilakukan orang-orang. Tentu saja, sebelum ini Akari pasti melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum masuk ke air. Itu pun juga salah satu kesalahanku yang belum mendengarkan sebab kematiannya dengan lengkap.
Beberapa saat setelah masuk ke air, Akari berenang agak jauh dari pantai dan terperangkap jaring penangkap ikan. Benar-benar tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal membuatku tak ingin mendengarkan alasan kenapa bisa ada jaring penangkap ikan di pantai seperti itu. Jaring ilegal? Manusia yang ceroboh? Terbawa arus? Sudah kukatakan, aku sudah tidak perduli alasannya. Karena ini berarti Akari takkan dapat selamat selama dia masih berenang di pantai tersebut.

Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi? Aku ingin menjadi orang pertama yang melihatmu dalam baju renang.” Aku berkata dengan tenang.

Akari jatuh dari tebing untuk ke-berapa puluh kalinya. Baju renang yang awalnya terlihat putih sekarang berubah menjadi corak merah yang tak beraturan.

Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi?”

Akari tertimpa papan reklame untuk ke-berapa kalinya. Wajah yang awalnya terlihat sungguh manis sekarang berubah menjadi penyok yang dapat membuat orang-orang muntah.

Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf.”

Akari meninggal keracunan makanan di restoran dekat pantai. Senyumnya yang awalnya terlihat sangat menyilaukan sekarang berubah menjadi penuh dengan muntahan dengan corak merah.
Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Bukanlah dunia yang menari di atas kesedihan dan keadaan kami, tapi kamilah yang dipaksa untuk menari untuk menghibur dunia sambil menahan beban kesedihan dan keadaan tersebut. Aku pernah berpikir, bahwa tidak seharusnya Akari ikut menari di atas panggung penuh hina seperti ini. Akulah yang selalu menyeretnya untuk menari, akulah yang selalu menariknya untuk ikut menahan beban tersebut.  Walaupun begitu, walaupun aku merasa akulah satu-satunya makhluk yang melakukannya dengan salah, aku tidak bisa lepas dari rasa lega akan adanya Akari di atas panggung ini bersamaku. Aku tidak bisa lepas dari rasa puas akan adanya Akari di sampingku dan membantuku menanggung semua beban yang seharusnya aku sendiri yang menahannya.


“Maaf, tapi orangtuaku belum mengijinkanku pacaran.” Kata Akari dengan pelan dan halus seakan mencoba membunuhku dengan lembut, layaknya mencincang-cincang tanpa adanya rasa sakit.
Ia menundukkan kepalanya sambil mempertemukan kedua jari telunjuknya. Saat itu, aku sadar bahwa aku telah ditolak, tapi tingkahnya yang sangat manis membuatku tetap ingin melihatnya sampai kapanpun. Mungkin inilah yang dinamakan dengan obsesi. Aku tahu obsesi bukanlah hal yang baik, namun seperti itulah yang kurasa pada saat itu.
Aku bersiap untuk menyerah dan meninggalkan kelas yang disinari sinar mentari sore tersebut. Akari, sambil berdiri di depan jendela dengan gorden yang melambai ditiup oleh angin berkata kepadaku dengan wajah yang penuh harap dan rasa bersalah.
“Tapi!! Bukan berarti aku membencimu.” Saat itulah setitik harapan mulai menyinari hatiku.
“Malah... Aku... Aku... Aku juga menyukaimu!” Dia mengatakannya sambil menahan rasa malunya dengan mata tertutup. Sungguh manis membuatku ingin membawanya pulang saat itu juga.

“Kalau begitu, jika aku dapat membujuk orangtuamu, maukah kau berpacaran denganku?” Kalimat yang seharusnya aku katakan pada saat itu. Kalimat yang sudah kuhafalkan dan kuingat layaknya skrip film yang telah ditulis dengan sangat sempurna. Namun kali ini, aku melakukan improvisasi dengan tidak mengatakannya.

Kali pertama, aku mengatakannya dan dapat membujuk orangtuanya pada akhirnya. Aku pun memperoleh berbagai macam informasi mengenai keadaan rumah tangga Akari yang sedang tidak stabil. Ayahnya adalah mantan konglomerat yang terkena tipu dan membuat perusahaannya sendiri bangkrut. Ibunya hanyalah ibu rumah tangga biasa dan terlihat sangat berbeda dengan sikap ayahnya. Jika ayahnya sangat kasar dan galak serta penuh dengan kesombongan dan harga diri, maka ibunya adalah orang yang lembut dan halus serta baik dan rendah hati. Walaupun Akari mengatakan bahwa ayahnya dulunya sangat penyayang dan baik pada setiap orang, tapi itulah yang membuatnya kehilangan perusahaannya dengan mempercayai orang yang berbuat tidak baik kepadanya. Akhirnya, ayahnya pun berubah menjadi sampah masyarakat yang masih saja memeluk kesombongan dan harga dirinya yang tinggi dengan erat.
Kalau diingat-ingat, aku sampai bertengkar keras dengan ayahnya soal menjadikan Akari pacarku. Ayahnya bersikeras mengatakan aku tak bisa apa-apa karena aku masih sekolah, aku bersikeras bahwa aku takkan menjadi manusia tak berguna sepertinya dan mendapat luka di sana-sini. Kami bertengkar dan berteriak sekuat tenaga sampai akhirnya ayahnya mengatakan bahwa aku dapat melakukan sesukaku. Kalau dipikir-pikir, dia tidak pernah mengatakan bahwa dia merestuiku berhubungan dengan Akari.
Walaupun pada awalnya dia terlihat seperti ayah yang baik yang hanya ingin membahagiakan anaknya dengan pria yang benar, kenyataannya tidak begitu. Dia hanyalah serigala berbulu domba yang mampu mengorbankan segalanya hanya untuk menjunjung tinggi harga dirinya yang bahkan tidak lebih berguna dari dirinya pada saat itu. Menusuk anaknya sendiri, membakar rumahnya sendiri, bahkan berniat melakukan bunuh diri masal dengan Akari dan istrinya sendiri. Aku benar-benar membenci orang itu sampai-sampai membuatku sangat jijik ketika melihat mukanya lagi.
Sama seperti ibunya yang terlihat sangat perhatian terhadap Akari. Tidak, mungkin memang orang itu perhatian terhadap Akari, namun aku tidak bisa mengesampingkan kenyataan bahwa orang itulah juga yang membiarkan tirani seperti suaminya bertindak sesukanya, mengontrol kehidupan keluarga tersebut dengan sewenang-wenang, memonopoli dan korup terhadap kasih sayang yang seharusnya ada dalam rumah tangga tersebut. Sedari awal dan pada akhirnya, ibunya tak dapat melakukan apapun dan hanya diam tak berdaya melihat kebrutalan manusia bengis tersebut. Tidak, lebih tepat disebut bahwa ia memilih tak melakukan apapun untuk melawan hewan buas tersebut. Aku juga membenci orang ini.
Namun, sebagaimana sesuatu yang tak dapat dihindari, mereka adalah orangtua biologis, orangtua yang membesarkan dan merawat Akari, orang-orang yang dicintai oleh seseorang yang kucintai. Mungkin akan lebih sangat tepat, kalau aku mengatakan bahwa aku membenci diriku sendiri yang tak akan pernah dapat menerima mereka sebagai bagian dari hidupku.

Hari itu adalah hari di mana aku menyatakan cintaku kepada Akari. Kalimat yang tak akan pernah kulupa karena selalu terulang-ulang di kepalaku layaknya kaset rusak, kali ini aku tidak mengatakannya. Aku tidak mengatakan kalimat tersebut. Aku hanya dapat tersenyum dengan manis sambil menahan kesedihan dan kata-kata tersebut yang berebut ingin didengungkan dengan pita suaraku.
Sampai di rumah, aku menangis di depan kaca kamar mandi yang merefleksikan rasa sakit dan perih yang kurasakan.

“Hey, Akari, mau makan siang denganku?” Aku mendekatinya pada saat jam istirahat.
“Ah, maaf. Aku agak sibuk dan sepertinya tak akan sempat makan siang hari ini.” Dia berkata dengan nada sedih dan senyum pahit yang penuh dengan rasa bersalah.
Mulai hari itu, Akari mulai menjauhiku. Dia selalu mengatakan bahwa dia sibuk dengan segala hal, namun aku dapat merasakan bahwa orangtuanya, lebih tepat ayahnya, mulai mengekangknya dalam segala  hal tersebut.

Sejauh ini, aku melihat Akari sebagai gadis yang sangat hebat dan kuat. Karena sampai saat ini, ada satu pola kematian yang tak pernah terjadi oleh Akari. Namun kali ini aku akhirnya menyadari, bahwa sebelum menjadi pacarku, anak dari orangtuanya, dan gadis yang kuat, Akari hanyalah seorang manusia normal.
Bayangkan segala kemuakkan, hal-hal yang menjijikkan serta menyakitkan, hal-hal yang membuatmu tak betah,  hal-hal yang membuatmu seperti terkekang dan membuatmu ingin segera lepas darinya, serta segala hal-hal yang membuat hatimu gulita karena ditelannya semua cahaya yang tersisa dengan kegelapan, berkumpul menjadi satu dan menibanmu dengan segala kenistaannya tanpa adanya bantuan dari hal-hal yang membuatmu merasakan kepuasan akan kehidupan di dunia. Ya, siapapun takkan tahan, sama seperti apa yang terjadi pada Akari.
Pagi hari, Akari ditemukan tak bernyawa dengan luka sayatan yang sangat dalam di pergelangan tangannya. Sosoknya tergeletak saat itu sungguh cantik dan khidmat, begitulah pikirku.

Jadi, apa yang dapat membuatnya melakukan hal yang tak pernah dilakukan bahkan setelah beratus-ratus kali aku mengulang hal yang sama? Bukan karena tidak adanya hal yang dapat membantunya mengangkat segala keburukkan. Namun justru karena ia tahu akan adanya hal tersebut, tapi sadar bahwa hal tersebut tidak membantunya mengangkat segala keburukan tersebut. Ditinggalkan oleh sedikit perasaan positif yang membawa segala perasaan-perasaan positif yang tersisa, maka yang tetinggal hanyalah perasaan-perasaan negatif yang menjadi penarik hal-hal negatif yang menimpanya sampai saat ini. Dengan kata lain, diriku sendiri.

Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, tapi pada saat ini aku menyadari bahwa tidak ada dunia yang tersisa untuk kubenci. Dan pada akhirnya, aku pun hanya dapat membenci diriku sendiri.



Sebuah penghapus jatuh ke lantai, melahirkan suara kecil yang dapat menggetarkan hati. Aku tak menoleh ke suara tersebut dan tetap menatap lapangan kosong lewat jendela kelas, mengacuhkan keduanya, guru yang sedang mengajar dan suara benturan penghapus dengan lantai ubin yang mengiringi jeritan hatiku. Itulah saat di mana aku berkenalan dengan Akari. Dengan hal sepele seperti mengambilkan penghapusnya yang jatuh dan dengan hal sepele seperti kata-katanya yang pertama kali kudengar dari mulutnya; “Terima kasih”. Ya, sungguh hal yang sepele yang dapat mengubah hidupku selamanya.



Seperti yang dijanjikan, Akari tidak ingat apapun tentangku. Siapa nama lengkapku, di mana alamat rumahku, kapan aku berulang tahun, kenapa aku terlihat seperti tak mempunyai teman, bagaimana aku melihat dunia, dan apa hubunganku dengannya. Dia tak ingat satu hal pun. Dia hanya menjalani kehidupannya dengan normal layaknya gadis-gadis biasa tanpa adanya diriku di sampingnya.

Ini semua untuk yang terbaik, ini semua untuk yang terbaik, begitulah kata-kata yang berulang-ulang kali kuucapkan layaknya seorang penyihir yang sedang melafalkan mantranya.
Musim-musim mulai berganti, waktu bergulir kembali. Tahun pun mulai bergilir, dan sekarang aku sudah menjadi pelajar SMA.  Aku berjalan dengan santai sambil memikul tasku dengan lesu.
Waktu pulang sekolah, anak-anak yang tak mengikuti klub apapun segera beranjak pulang. Di seberang jalan, sekumpulan perempuan sedang berbincang-bincang dengan suara yang kencang dan senyum bahagia tertempel di wajah mereka masing-masing. Di arah yang lain, suara jangkrik dengan merdu merasuk melalui telingaku. Salah satu dari perempuan-perempuan itu pun menoleh dan berbalik badan untuk melihatku. Ia lalu berlari ke arahku tanpa menghiraukan teman-temannya yang sedang tertawa. Tanpa melihat-lihat, ia berlari ke arahku melewati jalan raya tersebut. *Tiiiiiiin* Ya, pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar berubah.

Untuk apa aku hidup? Demi apa aku dilahirkan ke dunia ini? Apakah hanya untuk menjadi alat pengisi kebosanan Tuhan? Apa itu keajaiban? Apakah sesuatu yang seperti itu ada di dunia? Apakah benar-benar ada orang yang pernah menyaksikan suatu keajaiban? Apa itu cinta? Apakah sesuatu yang layak untuk dimiliki manusia? Apakah benar-benar ada orang yang telah mendapatkan dan telah sepenuhnya mengerti hal tersebut? Apa itu kehidupan? Apakah sesuatu yang berhubungan dengan takdir? Apakah takdir benar-benar ada di dunia ini? Apa itu kehidupan? Apakah sesuatu yang telah ditentukan secara ultimatum oleh Tuhan sehingga kita tidak bisa mengubahnya?

Aku membenci diriku sendiri. Pada akhirnya, hanya waktulah yang aku dapatkan dengan menukar waktuku yang lain. Dan dengan waktu yang kudapatkan dengan sia-sia tersebut, aku hanya dapat berpikir sambil terjebak di dalamnya. Di tempat yang tak memiliki apapun kecuali waktu, aku mengorbankan seluruh waktuku hanya untuk menyadari bahwa aku tak bisa mengembalikan waktu yang telah terpakai dan hilang. Sebuah pelajaran, setidaknya itulah yang aku pikir bisa aku dapatkan. Suatu keoptimisan yang tidak kumiliki sedari dulu. Mungkin karena ada sesuatu yang membuatku harus berpikir seperti itu.
Aku membenci diriku sendiri. Terperangkap dalam waktu yang tak berjalan ke mana pun, aku hanya diam termangun memikirkan segala hal yang terlintas dalam pikiranku. Semakin lama aku berpikir, semakin semuanya menjadi tidak masuk akal. Tapi hanya berpikirlah yang dapat aku lakukan di dunia yang hanya memiliki waktu seperti ini. Aku pun mencoba untuk menjadi terbiasa dengan segala pikiran-pikiran dan ide-ide semu yang tak masuk akal.
Aku membenci diriku sendiri. Terlarut dalam bayang-bayang kasih sayang dan cinta, mati ketika kasih sayang dan cinta tersebut direnggut dariku. Terbelenggu dan terhenti di dalam waktu yang kubekukan oleh diriku sendiri, aku hanya dapat menghela nafas sambil mendengarkan cerita tanpa suara dengan diriku sendiri sebagai pemainnya.
Aku membenci diriku sendiri. Sungguh sangat disayangkan ketika mengetahui bahwa cerita di mana aku sebagai pemainnya tersebut adalah cerita tragedi di mana tidak akan ada dunia di mana semua orang berbahagia. Sungguh sangat disayangkan ketika mengetahui bahwa cerita di mana aku sebagai pemainnya tersebut diakhiri dengan sesuatu yang bukan dengan akhir bahagia layaknya cerita-cerita lain yang membuat iri atas penutupnya.
Aku membenci diriku sendiri. Membiarkan diriku dipermainkan dan dijadikan alat penghibur tanpa memperhatikan perasaanku sedikitpun, aku memaki diriku sendiri. Menari-nari di atas panggung sambil mencari jalan keluar dari opera yang memuakkan, aku hanya dapat menemukan latar baru untuk memulai adegan baru yang belum aku mainkan.
Aku membenci diriku sendiri. Pada akhirnya, aku hanya dapat duduk menonton semua rekaman tarian menyedihkan yang aku lakukan sendiri. Merefleksikan kebodohanku yang mau diperalat oleh benang-benang tak terlihat layaknya seorang boneka.
Aku membenci diriku sendiri. Tidak ada lagi dunia bagi diriku, tidak ada lagi tempat bagi diriku. Semua yang kulihat di dunia ini berubah menjadi satu-satunya yang hampir tak terpengaruh oleh waktu, yaitu pecahan-pecahan yang tanpa disadari berkumpul menjadi satu membentuk gambar pemandangan yang tak berhenti aku tatap walaupun aku telah muak berada di depannya.
Aku membenci diriku sendiri. Sekali lagi aku terus berpikir, apakah keajaiban benar-benar sesuatu yang nyata di dunia ini? Atau hanya aku saja yang tak berhak mendapatkannya di dunia sama sekali?

Sabtu, 12 Januari 2013

Prologue : Something That Does Not Exist


Fate. The thing I hate the most.

It was lunch break.

Fate. The word I don’t want to hear the most.

I didn’t have any work to do.

Fate. The thing I don’t want to believe in the most.

I went upstairs, to the roof.

Why? Isn’t it obvious?

It was my favorite place.

Because I don’t want my life is controlled by such thing.

Like always, the door to the roof was unlocked.

If my life is controlled by something like a system, doesn’t that mean I’m no different as robots?

I opened the door. The breeze was welcoming me.

To me, fate is just a thing to be blamed by human.

And then, she was there.

It’s just like a thing that was made by human. That’s why, I don’t want to believe in fate.

I hadn’t ever met her before, here.

It’s irritating too, don’t you think?

But, when I got there, she was there.

To have our lives controlled.

I was entranced.

To feel like our doings’ results have been decided.

To the swinging black-long hair.

Even before we were born, it had been decided.

To the body that looked so fragile.

So, we’re just living the life that’s fated, already.

To the sublime beauty.

And not living as we will.

She was just standing, behind the fence

And to think our good results is just some parts of fate.

Watching to the disgusting view of the world below, with sad-look on her face.

I thought, “do our lives have meaning, to begin with?”

And I was entranced, unable to say anything.

Yes, fate is just a thing to be blamed.

Enjoying that Goddess-like figure.

Because we can’t live our lives just like we want to.

Until then, she turned and looked at me.

That’s why we use fate to blame our uneasy feelings in life.

With her beautiful sparkling eyes.

That’s why, again, I don’t want to believe in fate.

She, then, smiled.

That’s why, I hate the word fate.

To think I had the chance to see her smile.

But, to think all of my perceptions will be destroyed and changed.

She, then, said…

Because of that short encounter.

“Hi…”

RIDICULOUS.

Selasa, 09 Oktober 2012

In a Slump?

Is anyone alive out there?

Long time no see. I mean really, really long time.
The title actually sums it up. Maybe it's not like I'm in a slump, but I somehow managed to lose my passions.
Yes, not even a single story I have actually is continued. No matter how hard I tried, words just wouldn't come up. Now, I really curse myself for that.
*sigh* Even though I said I really wanted to be a writer. I still do, though. But, at this state...

Well, there are some moments in life where you have to stop, I guess. The moments when you have to think about what you need to do, and what you will actually do in fact. Though, I think I'm thinking too much (oh the irony).
Now I have many ideas, and unfinished stories. Too many, in fact. I have the ideas in my head, but somehow it just won't come up in words. Well, I'll try again later, though.

I'm not saying that thinking is a bad thing. It's just when you're thinking, you are not actually doing anything at the moment. You stop, and you're thinking. But life is not all about thinking. Sometimes, you really need to live carefree.

But, somehow I lost my passions to do anything. It's not like I'm living just to have fun. Heck, even when I'm trying to have fun, everything turns to be tasteless. That's when you lose passions to do anything.

Now I look like a rambling child that lost his toys. I wonder when will I come to my sense again...
See you later... at a not fixed time...

Sabtu, 07 April 2012

Project #10 - Chapter 01

Chapter 01 : Humans, The World, Feelings

She was still alone. Nobody was still beside her. Even so, the story is not ended yet.

She took a small step on the cracking ground. She looked at the ground. There was a big gap in the ground. She raised her skirt until her thighs could be seen, took several steps back, and got herself ready. After taking a long, heavy breath, she began to run. She ran as fast as she could. Ignoring the heat her body emitting or the heat the earth was emitting, she ran with all of her might. She ran as fast as she could, with all of her might. What kind of achievement did she try to get by doing so? Even though the gap was big, it was still small enough for someone to jump over it by just wasting a little energy. Even though the gap was deep enough and dark enough to bury someone for eternity, still that someone could just jump over it with just a small effort. Why did she do that? She herself didn’t know about it. She didn’t know why did she want to do it. She was just doing so reflexively. She didn’t think about it, she just did so. Even so, what was the big deal, maybe. She was the one in that world. Nobody would complain about her doings. Because there was nobody besides her to begin with.

She ran as fast as she could. But suddenly, she stumbled upon a rock. A tiny rock she herself stepped on it. She fell to the ground. The scenery was in slow-motion. Her body second by second was tilted. Like flying in the air, she was falling forward, and of course to the ground also. Her clothes were swinging beautifully, following her figure that was nobly falling. Her eyes were wide open. She opened her mouth in surprise. She stretched her hands towards the ground so she wouldn’t fall dangerously. But due to her unluckiness, she was, in fact, falling into the gap. She was falling, like being sucked into the darkness, she was falling to the gap. She was threatened to be buried into eternity. She didn’t want it. She was afraid. She was afraid of dying. Even though dying and living in that world didn’t really have big difference between them, she was still afraid of dying. Again, she didn’t know why, she just didn’t want to die. She didn’t want to die.

Forcefully, she spun her body in the air. She stretched her hands with all of her might to reach the edge of the opposite ground. She opened her palms, and groped the edge while swinging her body vigorously. Then, she slammed her body into the wall of the gap. She groaned in pain. Her body was in an awful ache. It was painful for her, but she couldn’t do anything about it. The only thing she could do was to endure the pain. Slightly but surely, she raised her body. Despite being a girl, she was not really not athletic at all. At least, she was strong enough to pull herself in a condition like this. She raised her body, and got up as soon as possible. She wanted to get rid of the fear of hers the fastest she could. She didn’t want to die, that’s why.

She was on the opposite side of the ground, now. She made it. With the heavy breaths she was taking, she finally passed it. She finally passed the brink of the death. She felt a relief. A relief? Why did she feel a relief? Again, that is the unanswered question left on her mind. Just like the feelings from before, she realized that those feelings have many kinds. Not only when the wind brushed her face, or seeing the ugly scenery in front of her. But also the fear of dying, and the relief of avoiding the death. What was that? She thought to herself. She wanted to share it with someone if she could. But no, again, with whom could she share those feelings? She gave up the thought of sharing the feelings to anything else. She just would search the meaning of the feelings by herself, then. Even though it was lonely, it was the price she had to pay.

She got up on her feet. She then cleaned the dirt on her clothes, and looked around her. The scenery was still the same. Nothing had been changed. Of course it wouldn’t change by itself only with several seconds. In fact, maybe it wouldn’t change even for eternity by itself. She began walking on the ground. Walking towards something she realized. There was a building. The sign-board was saying “Libr***”. Yes, the sign-board was wrecked. She couldn’t read it fully, but at least she could guess what it was. It was a library. An abandoned library. A library without guests or librarians inside it. She then, attracted by her own curiosity, got in to the library.

Maybe books could teach her about those feelings she had continuously before. Because of course, books were made by other living-creatures besides her, by humans other than her. Even though she was not really sure. She still hoped that she could find anything about it. Even just a single clue, it would be a great help to her. Well, what else could she do? She had much time. She didn’t have works, she didn’t have to go to school, she didn’t have to do her home-works, she didn’t have to do her chores, she didn’t have to have a fight with her families or friends, she didn’t need to live... She didn’t even need to live...

She got inside. The library was big enough to hold several hundreds of books. It had even two floors to hold some books. There were sections between shelves, History, Literature, Science, Social, and everything you could see in the library everywhere else. The library was in wrench, it was wrecked everywhere else, but at least there were still so many books that could be read. The light of the sun was piercing through the wrecked roof and illuminating the rooms inside. It was bright enough to read books there, at least.

She then went deeper to the shelf right in front of the entrance. She looked at several books in the shelf. She tried to skim through the books, and tried to pick some books. But, because there were so many books, she couldn’t even choose to begin with. She was bewildered. Which one of the books that could help her understanding the feelings she wanted to know? She didn’t know. So, with nothing in mind, she randomly picked one book she looked first, and opened it to the middle page of the book. There she saw foreign language with many scribbles. She didn’t know what language it was. She didn’t understand, but she kept trying to read it. And in the end, as expected, it confused her to the most. She looked at the section she picked, it said “Foreign Books”. So that’s why she couldn’t read the book in there.

She went to the other section of the library. It was the History section. She carefully skim at the books again, but she couldn’t indicate what the books were discussing. So, again, she randomly picked one book in the shelf. She carefully opened it, and read the first page. She realized the language. Finally, she could read at least a book in her language. She read the book from the first page, skimming fast through the pages. It was a story of World War II. The same as she knew. The Germany attacked Poland, Danzig to be precise. And then Japan bombed Pearl Harbor, Indonesia was freed, and else, and else. She then closed the book, adjusting her eyes, and went to the other section without putting the book back.

She went to the Social Study section. There were many thick books there, maybe even more than the History section had. They were discussing about Society, in other words, Humans. Why to understand humans, they needed to write books so thick? Wasn’t it easy to understand humans? Then, she thought about her feelings again. No, maybe not that easy, though. She couldn’t even understand herself. So maybe it was right to study humans even more. She took several books from the shelf without skimming it. She picked both the thick and the thin ones. She then went to yet another section in the library.

“Literature” was what it said. She thought that maybe literature might be a good choice to know what is a human thinking. Humans are always thinking, and to not forget it, they put it in a medium where when they look at it, they would remember again. Whatever they are thinking. Philosophy, poems, histories, daily lives, stories they made. Everything they could think about. Humans like to put everything, so they could last forever. That is why, she thought she might found a good reference in those books. She picked several books again, and went to another section.

“Fiction”. She thought that maybe she could find why was human imagining. She wanted to know why was human desiring. Why did human create a different world from the world s/he was in. Why did human wanted to be in another world, when they had his/her world alone. Maybe that was why she was here. She wanted to know too what she was thinking until this time. She wanted to know to what did she desire. Did she desire for wealth? Did she desire for power? Did she desire for everything in the world she could get? Yes, maybe yes. Because... she was in that world. In the world with nothing. Maybe because of her arrogance she got sent to that world. Whatever what it was... She didn’t remember. She didn’t feel anything about her desire. She just wanted to know, the feelings she had. She took several books again, and went to another section.

Next was psychology. The lesson that’s studying about humans’ mind. What were they thinking? Why were they thinking about it? How did they think about it? When did they think about it? Where could they think about it? With whom did they think bout it? Why did they want something? What should they do about their thinking, and else, and else. Again, she took several books from the shelf. The thick and the thin ones.

In the end, she picked too many books that they were piled in her hands. She couldn’t even really see what in front of me because of the stack of the book. She carefully stepped on the floor made of wood, and went towards the chair and desk in the corner of the library, near the window. She put her books on the desk, took a seat, and finally opened the first book in the stack.

She read it fully with concentration. The first book she read was History. Again, she didn’t know why, she found it interesting. The stories of the world that happened in the past, they felt like some stories for her. She imagined about it. She could see them be filmed inside her head. She could imagine it. She could watch it by reading the book. She could be a player in that film. She could be the director of that film. Everything was just like a film to her. She could see the children were cheerfully playing at the peaceful times. Elders were leisurely taking a rest. Everything was so peaceful. At that time, everything seemed so peaceful. But, that was the beginning. Next, she was imagining how Hitler ruled over Germany that time. How was the Pearl Harbor bombed that time. And the counter-attack from America that bombed Nagasaki and Hiroshima. She began to imagine about people dying. She imagined about the parents were separated from their children, and suddenly they were crushed and exploded in pieces by the bomb. How the soldiers were shooting each other. How they burned everything in sight. How they pierced anyone else body with sharp bamboo, bringing out their organs. How everything had been turned into ashes. How they were killing each other in the name of peace. How they were killing each other in the name of love. How they were killing each other in the name of God. Then, it ended. Nobody was alive. Every building was equal to the ground. Everything was left in brown-dust color. It was ugly. It was disgusting. It was sad. Then, she saw someone was getting up in the middle of that ruin. In the ruin that used to be a peaceful city. The girl was dirty with dust and dirt. Her hair was long and red. Her eyes were empty. She wore just like only a piece of cloth. Upon seeing it closer, she then realized, the image of the girl was her herself.

She came back to her sense. Her breathing was ragged. Sweat was all over her body. History was not good. History was not a happy thing. She didn’t want to think about it anymore. She didn’t want to read it again. She closed the book, and put it besides the stack of the books she took earlier. She then picked other book at the top of the stack, and opened the next book.

The next was about psychology. The study about humans’ mind. She then again read it with full of concentration. It discussed about how humans think. Even though the title was saying so, it was full of foreign words. But, fortunately, she could mainly know what they meant. Well, by thinking carefully about the words, that is. She was tired of following the subject. Because of that, her concentration was dissolved into the air. Then, she skipped page by page and stopped in a page where her eyes were attracted. It showed a picture of human’s head. A human besides her. Even though it was just a picture, she was still interested in it. She was absorbed into it. It was a boy. The picture was handsome. She was entranced by it. She touched the picture by her slender, beautiful right hand. Her hand was tiny. It seems so fragile. Carefully, she traced the picture by her hand. It was flat. It was cold, too. It was just a picture after all. It was just a picture drawn specifically on the flat and cold paper. It was a 2D being. It didn’t have warmth. She felt sad. She felt glad. She felt curious because of it. Seeing the other human being besides her. Seeing the other human being that was actually not exist in her world anymore. She wanted to find another. Maybe she could find a picture or more of human beings besides her. She skipped pages, and skimmed the book as fast as she could. But she couldn’t find another picture besides that picture. So, she decided to rip the page off from the book, and kept it in her waist pocket. She closed the book, and put it on the history book she read before.

She took yet another book at the top of the piled book. It was a novel. A book filled with a chronological story or two. Whether it was someone’s experience, or just one’s imagination. She opened the book and saw the title. It said “Beautiful Nightmare”. It was a romance. A love story between a couple. She was interested by it. She thought that by learning of a love story, she could understand more about love. And love is related to feelings, and by understanding about love, she hoped that she could understand about her feelings. She began to read the book. It was a fiction about the relationship of a boy and the girl. The boy liked the girl. But, there was something off about the boy. Whenever he was imagining or dreaming about the girl, he always got stuck in accidentally hurting her. Worse, he always saw the girl died in his dreams. Because of that, he ended up avoiding the girl for her well-being. The girl didn’t know about the boy’s feelings. But she felt awkward because the boy was always avoiding her. She was always striving to reach the boy. She had dream that was contradicting the boy’s dream. Whenever she was dreaming, she always dreamed about being in dangerous situation where she would die every time. And whenever she was in the danger, she would always be saved by the boy in her dream. And because of that, she ended up striving to reach the boy. That’s weird, thought the girl. The boy was avoiding the girl because he liked her. His action was contradicting his own reason. That’s weird. If he really liked the girl, then shouldn’t he struggle to protect the girl, instead of running away by avoiding her? The girl, too. She knew that she might be in danger if she stayed near her. But instead of staying out of him, she was struggling to reach him. Weird, why were they so hypocrite? They wanted the positives, but their ways were the negatives. Was it because of love? She couldn’t understand it. She couldn’t understand about love. Love is so complicated. She was even more confused because of love. Rather than making her search easier, it became much too hard for her to comprehend. She decided to stop reading the novel. She closed the book, and put it on the psychology book.

She took another book again. A coverless book like the others. She opened it slowly, and looked at its content. Some words were placed abstractly. Some titles were in that book. They were some poems. She couldn’t understand what they meant. Of course, they were some poems, after all. They were the works of those who could describe their feelings with words. She thought that if feelings were easy to describe, she wouldn’t have a hard time understanding her own feelings. But, even though it was hard, she still kept trying to understand the meaning of the poems. Many of them were talking about love, so she got less passion than she had before. She skipped several pages, intending to find at least one poem that was not talking about love. Then, she found a poem among many, titled “The heaven above the sky, and the heaven below your feet”. Heaven? She had heard about it. It is a place where good mans are sent to be granted by very much wealth a human cannot obtain because of their deeds. The opposite of heaven is hell. It is a place where bad mans are sent to be punished by very much torture a human cannot bear because of their evil-doings. Then, she thought. Maybe this is hell? Maybe it was right that she was punished because of her evil-doings? Where is heaven, she wondered. “...Above the sky...below your feet” it said. She was not sure if it was right. She couldn’t see heaven through the clouds, neither she cold see heaven under the ground. She gave up. Maybe she really couldn’t find heaven, after all. Well, it was just merely a hope. But for her, in her case, a glimmer of hope was still counted as the thing that could change her life completely.

She was tired. Every time she read a book, she always found something that was off-topic from what she was searching for –the meaning of her feelings. She let out a sigh, and looked outside the window. The sun is about to set. The light was barely enough to make her could read in that library. She closed the book, and put it again at the top of another stack. She took a book from the first stack of books, and carefully opened it. This was the last. She thought about finishing after this book. While carelessly browsing the book, she caught a glimpse of a text which attracted her.

“A human is born alone, and dies alone. But, the fact that human can’t live alone is undeniable. A human cannot live by oneself. One needs other to live. One must needs other to be with oneself. Just like how Adam needed Eve, a human needs other to rid of one’s loneliness. Because solitary is unbearable to human. To share one’s feelings, to get help from another with one’s problem, to interact with, to communicate with. Human indeed needs to be with other in order to live. Maybe there are humans that could live by themselves. But in fact, that is just an act of selfishness. No matter how bad the human is, no matter how dire the situation the human is in, no matter how good, no matter how evil, no matter how strong, no matter how weak, no matter what, human needs other in order to live.

One cannot live by oneself, because one is born alone, and will die alone, that’s exactly why one cannot live by oneself. To fill one’s emptiness. To fill one’s heart. One, needs other to become a human.”

The light dimmed. It was dark inside the library. The girl was still sitting on the chair and staring blankly at the unreadable book. She was thinking. If one needs other to become a human, then she is not a human, then? She thought to herself. One needs to share one’s feelings, one needs to get help, one needs to interact, one needs to communicate. But... with whom could she share her feelings? With whom should she ask for help? With whom she could interact? With whom could see communicate? It’s unavoidable. She couldn’t help it by herself. She couldn’t even deny it anymore, if someone was saying if she was not a human. She couldn’t understand her feelings, she didn’t have anything precious she could share with another. She didn’t have anything.

Adam, you were alone, right? Before Eve was created, you were alone, right? What were you doing when you were alone? How could you be recognized a human before Eve was there? It’s unfair. If you, after that, had Eve besides you, then why couldn’t she? Why was she alone in that world? Why was there nobody to be besides her? In that colorless world. She kept living even though she knew she wouldn’t really get anything. The same as you, right, Adam?

Oh, I see. If that’s the same, then that’s it, right? What she really needed to do, was only to keep living, right? I see. Even though they said that we always have a choice? No, maybe not in her case.

Then, she closed the book and put it away.

She leaned to the chair, then began summarizing what she found on those books she read. History, humans are killing each other when they are loving each other. Psychology, didn’t really find anything besides a picture of another human. Novel, humans’ acts are sometimes contradicting with their wills or needs. Poems, didn’t really find anything besides humans cannot really describe their feelings with words. The last book, human cannot live alone, if a human does, it’s because of his/her selfishness. They didn’t help at all. Reading a book didn’t help her finding the meaning about her feelings at all. It was useless. Or was it? Was it really useless to read those books, after all?

The day was darkened. It was night time. She was still sitting in the library. She was still thinking about finding another way to understand the meaning of her feelings. When she was lost in thoughts, then she heard some loud noises. Grumbles, to be precise. She was hungry. She hadn’t eaten yet. She put her hand on her stomach. It really was her stomach that made some noises before. She then stood up and took a step to get out of the library. Surprising her, she stepped on wrecked floor, and fell down beautifully. She slammed her body against the floor, including her nose. It was hurt. She let out some tears from her eyes while touching her nose. Twice. She fell twice, this day, then. She stretched her hand to grab the desk to support her weight. When she finally was at half way, she then realized something was wrong. The desk was actually fragile. The wood had wrecked too. Surprising her, again, the foot of the table was cracking and finally wrecked in pieces. She fell down again when she was concentrating her weight to the table. She fell beautifully again. The books on the table, of course, fell too. While making some dull sounds, they fell right on the girl. She was then groaning cutely in pain. Not only fell down thrice, she was also struck by several thick books. Was she really this clumsy? While holding the pain on her back, she carefully stood up and stepped on the floor. Tattering, she walked out of the library to search for some foods to consume.