So, this is one of the side stories, I decided to make it first.
I'm sorry it's in Indonesian.
Hari itu adalah waktu di mana semuanya menjadi
masuk akal. Tidak, mungkin tidak bisa dibilang seperti itu. Justru hari itu
adalah hari di mana aku menyadari bahwa tidak ada yang masuk akal di dunia ini.
Mimpi, cita-cita, khayalan, takdir, cinta, kasih sayang, kehangatan, apa maksud
dari kata-kata tersebut ya? Pergi dan kembali, terus menerus, berputar-putar
dan berulang-ulang kupikirkan untuk mengetahui arti dari kata-kata tersebut.
Tetapi, semakin aku berpikir dan mencoba untuk mengerti, aku malah semakin
menjauh dari pengertian sebenarnya. Aku bahkan mulai ragu apakah memang ada
pengertian yang benar-benar benar untuk dipasangkan dengan kata-kata tersebut.
Sama dengan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang benar-benar benar di dunia
ini? Aku tidak tahu, dan aku tidak berpikir aku akan mengetahui hal itu dalam
hidupku.
Hidup
itu sungguh sederhana, kita hanya perlu makan, bertahan hidup, dan
berkembang-biak. Mungkin memang terdengar agak kasar, tapi bukankah memang dari
awal untuk itulah kita hidup? Atau tidak? Yang pasti, hidup itu sederhana,
manusialah yang penuh dengan misteri. Sesuatu yang misterius itu tidak akan ada
jika tidak ada manusia yang membuatnya menjadi sesuatu yang misterius. Jadi,
tidak heran kalau manusialah yang penuh dengan misteri sedari awal. Dengan
akalnya, manusia mulai berpikir dan berpikir, mungkin karena memang hanya
dengan berpikirlah mereka dapat menggunakan akal mereka. Namun, lama-kelamaan
manusia malah mulai ketagihan dengan berpikir. Mempermasalahkan banyak hal di dunia,
membuat banyak misteri dalam hidupnya, mempertanyakan alasan kehidupannya. Yah,
walaupun mungkin itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Dan pertanyaan
paling besar; untuk apa kita diciptakan?
Dengan
asumsi bahwa Tuhan, suatu eksistensi yang melebihi segalanya, itu benar-benar
ada dan Dialah yang menciptakan manusia. Coba kita pikir, tingkatan eksistensi
manusia sungguh berbeda jauh dengan Tuhan, tentu saja karena memang Tuhan yang menciptakan manusia, layaknya
manusia membuat robot yang digunakan sebagai alat. Mereka bilang walau orangtua
yang melahirkan seorang anak, tapi orangtua tidak memiliki hak untuk merenggut
kehidupan anak tersebut karena memang dia telah terlahir. Tapi layaknya
hubungan robot dengan manusia, hubungan manusia dengan Tuhan bukanlah seperti
ayah dan anak. Layaknya manusia yang hanya menganggap bahwa robot hanyalah alat
untuk digunakan, apakah memang benar bahwa Tuhan juga hanya melihat manusia
sebagai alat? Layaknya manusia yang memiliki hak untuk merebut kehidupan robot,
apakah memang benar bahwa Tuhan juga memiliki hak untuk merebut kehidupan
manusia?
Sekali lagi, semakin aku berpikir, semakin aku tak
mengerti dan semakin aku jauh dari apa yang aku pikirkan. Setiap suatu memiliki
hubungan dengan suatu lainnya, namun tak memiliki akar. Sungguh suatu kesalahan
jika aku malah mencari setiap cabang yang terhubung kepada suatu tersebut yang
aku jadikan inti. Semakin aku berpikir, semakin aku menyusuri cabang, yang aku
temukan hanyalah cabang dan cabang lagi, tiada akar atau inti biji. Seperti
itulah dunia, kurasa. Tapi, aku juga tak bisa berhenti berpikir. Karena seperti
yang telah kusebutkan sebelumnya, akalku hanyalah dapat digunakan untuk
berpikir.
Kembali
lagi ke waktu itu. Kalau aku pikir-pikir lagi, waktu itu mungkin adalah waktu
teraneh yang aku alami sejauh ini. Pengalaman yang sungguh menarik walaupun
tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupanku yang sangat biasa. Tidak,
mungkin itu adalah pengalaman yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
hidupku sampai aku tak begitu merasa terpengaruhi, karena satu-satunya hal yang
terpengaruh adalah caraku melihat dunia ini. Bagaimana caraku melihat dunia
ini? Tentu saja dengan caraku sendiri. Bagaimana dengan sekarang? Tentu saja
masih dengan caraku sendiri, namun perubahan fundamental pada caraku melihat
dunia ini tidak merubah label bahwa bagaimana caraku melihat dunia ini adalah
caraku sendiri. Memusingkan, memang.
Siang
yang sungguh terik, begitu pikirku sambil menahan sinar matahari memasuki
mataku dengan bayangan yang dibuat tangan kananku sendiri. Surga yang sungguh
kecil, hanya cukup untuk menutupi sebagian mukaku. Aku terus mengeluh dan
mengeluh, untuk apa sinar matahari diciptakan sepanas ini. Tentu saja itu
hanyalah pertanyaan konyol, namun tetap saja aku tak bisa menahannya ketika aku
diterjang neraka yang besar dengan hanya pertahanan yang sangat kecil. Tapi ini
juga salahku karena tidak membawa apapun dari rumah. Kalau saja aku setidaknya
membawa topi, mungkin setidaknya aku bisa melihat ke depan dengan jelas.
“....Pa....Naaaaaaaas....”
Keluhku sambil menurunkan lenganku dengan lesu.
Keringat telah membasahi sekujur tubuhku, membuat seluruhnya agak lengket dan
tidak nyaman. Aspal yang kupijaki juga mengeluarkan hawa panas. Bahkan suara
jangkrik yang seharusnya bisa terdengar merdu sekarang malah seperti kesakitan
terserang oleh panas ini.
Di depanku, anak-anak terlihat dengan senangnya
berlari-lari di cuaca yang sangat panas seperti ini. Dan mereka sambil memegang
es krim di tangan mereka. Walaupun di depanku adalah toko manisan yang menjual
es krim, tetap saja aku tidak bisa membelinya karena aku tidak memiliki uang.
Aku hanyalah seorang pelajar SMA yang tak memiliki pekerjaan sambilan dan hanya
bergantung pada uang saku yang diberikan oleh orangtua, jadi aku benar-benar
tak mempunyai pilihan untuk menahan hausku. Tapi, walaupun begitu, melihat
mereka dengan segarnya malah makin membuat diriku putus asa dan semakin haus.
Ahh, mereka berlari ke arahku. Lalu salah satu
dari mereka melihatku dengan tampangnya yang sangat polos, yang mungkin juga
kebingungan. Mulutnya terbuka lebar, hidungnya mengeluarkan cairan ingus yang
lumayan banyak, hampir masuk ke mulutnya. Ia memegang es krim yang sedang dalam
proses pelelehan oleh panas alami.
Aku
tersenyum aneh sambil melambaikan tanganku, lalu menunjuk tangannya.
“Hey, dik, kalau tak mau kau makan, boleh buatku
saja?”
Tanpa bilang apa-apa, dia menggerakan kepalanya
dan melihat tangannya yang basah karena lelehan es yang ia pegang. Setelah
terdiam sejenak, dia pun melihat kembali kepadaku dan—
“Weeeeek!!” Dan anak itu pun lari mengejar
teman-temannya.
Aku menundukkan kepalaku menghadap jalan dan
menjatuhkan tanganku yang tadinya masih di udara menunjuk es krim yang sudah
pergi. Dunia memang kejam. Walaupun mungkin konten di mana seharusnya kalimat
seperti itu dikatakan berbeda, tetap saja dunia memang kejam. Oh, apakah Tuhan
memang telah membuangku di saat-saat seperti ini. Mungkin ini juga salahku yang
memang tidak pernah meminta atau menyembah Tuhan di saat-saat senang. Tapi tetap
saja, bukankah Tuhan tidak pernah meninggalkan makhluk ciptaannya dalam
penderitaan? Oh, aku tidak bisa membedakan keringatku dengan airmataku
sekarang.
Saat aku masih berpikir hal-hal gelap seperti itu,
sebuah bayangan menutupiku dari sinar matahari. Aku pun menoleh ke sampingku,
merasakan bahwa ada seseorang yang berdiri di sana.
“Bidadariku!” Teriakku ketika aku melihat seorang
gadis sedang memegang sebuah parasol untuk melindungi tubuhku dan tubuhnya dari
sinar yang tak kenal ampun tersebut.
Perempuan itu hanya tersenyum dengan manis
mendengar gombalanku. Yah, kalau itu memang bisa disebut sebagai gombalan. Dia
pun lalu menyodorkan tangannya yang satu lagi yang sedang memegang sebuah botol
minuman dingin, teh hijau lebih tepatnya.
“Silahkan.” Gadis itu berkata dengan lembut.
Suaranya yang lemah gemulai mudah terdengar karena terbawa oleh angin. Parasnya
yang cantik dengan matanya yang bulat dan bibirnya yang tipis membuatku terpaku
untuk sesaat menatapnya. Rambutnya yang bergoyang diayun oleh angin sungguh
terlihat cocok berdampingan dengan dirinya. Tubuhnya yang langsing dan
proporsional pun juga salah satu kelebihan utama gadis ini.
Aku
pun menjulurkan tanganku untuk mengambil botol minuman tersebut darinya.
Dingin, telapak tanganku yang sedang kehausan pun merasa terpuaskan dengan
bersentuhannya kulit paling luarnya dengan kulit paling luar botol tersebut.
Dinginnya pun merambat ke dalam kulit, menjulur ke sekitar tangan. Tanpa ragu,
aku pun membuka tutup botol tersebut dan meminum isinya. Sungguh menyegarkan,
rasa haus mulai sirna dari kerongkonganku yang sudah hampir kering diterjang
hawa panas bumi.
“Puaaaaah... Kau memang penyelamat jiwa. Terima
kasih banyak, Akari.” Kataku sambil tersenyum setelah menutup kembali botol
tersebut dan mengembalikan botol tersebut kepada gadis itu. Gadis itu pun
tersenyum manis sambil menempatkan tangannya menyelimuti tanganku untuk
mengambil botol minuman yang kupegang. Tangannya sungguh halus dan lembut.
Sungguh suatu yang abnormal pula tangannya tidak berasa terlalu panas di tengah
hari seperti ini. Yah, atau mungkin memang karena seluruh tubuhnya dilindungi
oleh parasol sedari awal. Perlahan, ia mulai menarik botol itu dari tanganku
dan membuka tutup botol itu lalu meminumnya dengan khidmat. Sungguh pemandangan
yang tak biasa kau lihat. Pemandangan yang benar-benar khidmat dengan setitik
air yang mengalir melalui lehernya, membentuk jalan bercabang membasahi kulit
bagian luarnya. Matanya tertutup, terlihat sangat menikmati puasnya dahaga yang
ditahan. Bibirnya menempel pada bibir botol, kerongkongannya menelan dengan
pola yang dapat disadari dengan mudah, layaknya degup jantung. Dia pun
menurunkan botol tersebut dan menutupnya kembali. Ia lalu menoleh kearahku
dengan wajah merah merona dan tersenyum kepadaku.
“Umm! Benar-benar segar ya, Hikari.” Katanya dengan
ceria. Aku pun ikut tersenyum bersamanya.
“Baiklah, mari kita pergi sekarang.” Aku lalu
menggapai tangan Akari dan memegangnya dengan erat dan tanganku yang satu
mengambil parasol Akari untuk membawanya. Akari pun menggenggam tanganku dengan
erat juga. Tangan yang sungguh halus bagaikan diuntai oleh benang sutra dan
dibuat dari kain wool. Tangan yang sangat hangat yang mampu mengusir semua hawa
dingin di dalam hati. Yah, memang agak berlebihan, tapi memang sebegitu
bahagianyalah aku sekarang.
Sehari sebelum ini, aku mengajak Akari untuk
berkencan, dan dengan sangat bahagianya, dia pun menerima ajakanku. Akari
adalah pacarku dari beberapa minggu yang lalu. Kami dulu pertama bertemu di kelas satu SMP, dan kami pun masuk ke
dalam SMA yang sama. Parasnya yang lembut dan anggun serta sikapnya yang selalu
positif dan ceria selalu menemukan celah untuk membuatku jatuh cinta kepadanya.
Karena itu, beberapa minggu yang lalu pun aku memberanikan diriku untuk
menembaknya. Tapi tidak, mungkin bukan beberapa minggu yang lalu.
Kami sampai di suatu mall sambil bergandeng
tangan. Karena di dalam ruangan, aku pun telah menutup parasol yang Akari bawa
dan Akari menyimpannya dalam tas kecil yang ia bawa. Walaupun hanya
melihat-lihat, aku benar-benar bahagia hanya dengan melihat wajah Akari di
sampingku saat ini.
“Hei, hei, Hikari, bukankah ini lucu sekali?” Kata
Akari memulai pembicaraan sambil memegang suatu boneka.
“Tentu, kau menginginkannya?”
“Ahh, harganya mahal sekali.”
“Mana coba lihat.” Aku menjulurkan tanganku untuk
meraih boneka tersebut, namun Akari menariknya dari jangkauanku.
“Tidak boleh! Harganya mahal.”
“Bukannya tadi kau bilang lucu?”
“Bukan berarti aku menginginkannya, lho!” Akari
lalu menaruh boneka tersebut ke raknya kembali.
Kami
pun berjalan-jalan dan menikmati waktu kencan kami. Sampai pada akhirnya kami
sampai di suatu toko elektronik yang besar. Akari mengatakan belakangan ini dia
membutuhkan laptop untuk membantunya menulis. Akari sangat suka menulis dengan khayalannya
yang tak dapat ditandingi oleh orang lain. Namun entah mengapa, aku tidak
terlalu suka melihatnya menulis.
*DOR
“JANGAN BERGERAK!! INI ADALAH PERAMPOKAN!!”
Setelah terdengar suara letusan senjata api, beberapa orang dengan topeng
menempel di wajah mereka pun menodongkan pistol mereka kepada orang-orang yang
ada di dalam toko tersebut. Mereka lalu mengumpulkan orang-orang di dalam toko
sebagai sandera sampai polisi pun datang.
Akari memeluk tanganku dengan khawatir. Situasi
ini bukanlah situasi yang biasanya orang duga. Terlibat dalam suatu perampokan
bukanlah hal yang menyenangkan, baik di sisi sandera, polisi, maupun perampok
itu sendiri. Karena itu, kami semua menjadi tegang dan panik dalam hati kami.
Terlihat ketakutan dari semua orang yang dikumpulkan menjadi sandera. Badan
mereka pun gemetaran tak karuan, termasuk diriku dan Akari.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka menarik Akari.
Tentu saja aku mencoba melawan, tapi orang itu segera memukulku begitu aku
mencoba menahan Akari. Orang itu lalu membawa Akari ke depan pintu dan
menodongkan senjatanya kepada Akari sambil mengucapkan kata-kata kasar kepada
polisi-polisi yang mengepung mereka. Keadaan menjadi tambah panas, orang-orang
telah kehilangan kesabaran mereka. Keputus-asaan menyampari setiap orang yang
berada di sekitar tempat kejadian. Lalu,
*DOR
Orang itu pun menembak Akari, tepat di kepalanya.
Keadaan tambah menjadi ribut, namun aku tak bisa mendengar apa-apa. Waktu
berjalan menjadi makin lambat, memperlihatkan adegan slow-motion Akari jatuh ke
lantai dengan darah mengalir dari kepalanya. Aku hanya melihatnya tanpa berbuat
apa-apa dengan mata yang terbuka lebar. Warna merah darah dari kepala Akari
mulai membuatku mual.
*BRUK
Tubuh Akari yang sudah tak memiliki nyawa dan
senyumannya itu pun terbaring di atas lantai dengan darah yang merambat menuju
setiap arah.
Aku
memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Namun, aku tak akan dapat
menerima pemandangan yang serupa seberapa kali pun diulang di depan mata
kepalaku sendiri. Aku tidak mau terbiasa, aku tidak akan pernah terbiasa.
Melihat hal-hal yang tak ingin kau lihat, dipaksa memakan hal yang memuakkan,
semuanya hanya akan membuat dirimu ingin memuntahkan segala yang telah kau
simpan. Layaknya apa yang terjadi, mau berapa kali pun, aku tak mau
menerimanya, aku tidak akan pernah bisa menerimanya.
Aku lalu membuka mataku dan menyadari bahwa aku
sedang tertidur di atas meja. Aku meluruskan badanku dan melihat Akari duduk di
depanku sedang menulis sesuatu di bukunya. Sosoknya terlihat sangat serius dan
khidmat, namun ada tanda kesedihan dan kesepian yang tertanam di dalam dirinya.
Walaupun ini terdengar tidak pantas, aku harus mengatakan bahwa ekspresi sedih
tersebut sangat cocok dimiliki oleh Akari. Dan karena itu pula, aku tidak
begitu suka melihatnya menulis.
Kami berada di dalam perpustakaan dalam sekolah, hari Kamis, 2 hari sebelum hari libur.
“Hey, Akari.” Aku memanggilnya yang sedang
menggerakkan jarinya mengendalikan pensil.
“Ya?” Hikari menjawab dengan lembut tanpa
memalingkan pandangannya kepada buku tersebut.
“Lusa, apa kau bebas?”
“Ya, ada apa?”
“Apa kau mau... Pergi kencan pada hari itu?” Aku
menjawab dengan malu-malu. Ini adalah salah satu aturannya.
“!!” Dia segera menoleh ke arahku dengan muka yang
terkejut sekaligus senang.
“Tidak mau...?” Aku berkata dengan ragu-ragu.
“Tidak!! Tentu saja aku mau!! Aku mau!!” Dia
menganggukkan kepalanya sekuat tenaga dengan wajah yang dihiasi oleh warna yang
merah merona. Dia benar-benar terlihat sangat senang dengan senyumnya yang
sangat lebar di wajahnya.
Sabtu,
hari di mana aku berkencan dengan Akari. Sambil menunggu di depan toko permen
yang paling terkenal di daerahku, aku menahan haus yang menyerangku sampai
akhirnya Akari datang dengan Parasol dan minuman dingin.
“Maaf ya. Apa kau menunggu lama?” Katanya dengan
sangat lembut dan wajah yang memelas manis.
“Tidak kok, aku juga baru datang.” Impian setiap pria, mengatakan hal yang
seperti itu. Aku pun juga tak akan pernah bosan mengatakan itu berapa kalipun.
“Baiklah, ayo kita pergi, Hikari.”
Aku menggapai tangan Hikari dan menggenggamnya,
lalu berjalan menuju laut. Kencan kami kali ini adalah melihat pemandangan laut
sambil memakan Crepe yang telah kami beli. Sambil berdiri di belakang papan
penjaga agar tak ada yang jatuh ke atas karang, kami melihat ke kejauhan dan
berbincang-bincang dengan riangnya. Sampai akhirnya, aku membawa topik yang
seharusnya tidak pernah kubawa.
“Keluargamu... Bagaimana?”
Senyumnya terhenti, ia menutup mulutnya dan
menurunkan Crepe yang tadinya dia angkat mendekati mulutnya.
“Tidak ada perubahan. Ayah masih saja tetap
menjadi manusia yang tidak berguna. Ibu juga sudah terlihat sangat lelah.”
Kesedihannya pun semakin dalam menusuk hatiku.
“Kau telah mencoba berbicara kepadanya?”
“Belum.”
Baguslah, dia belum berbicara kepada ayahnya yang
telah menjadi sampah masyarakat itu.
“Maaf ya, aku malah mengangkat topik seperti ini.”
“Tidak apa-apa. Aku malah senang, karena Hikari
perhatian kepadaku.” Ia berkata sambil tersenyum dengan sangat manis sambil
diiringi angin yang membuai dari laut. Senyum yang sangat manis yang dapat
membuatku terdiam dan ingin menghentikan waktu. Senyum yang sangat manis yang
tak bisa membuatku bosan.
Akan sangat menyayat hatiku, bila sampai pada
saatnya aku harus berhenti melihat senyuman itu.
Dari belakang, seorang anak berlari sambil dikejar
oleh orangtuanya.
“Stop! Ken-chaaaan!” Seorang wanita, ibunya
berlari dan berteriak dengan wajah yang khawatir.
“Ahahahaha! Tangkap aku, ibu!” Anak itu berlari ke
arah kami dengan riangnya sambil melambai dan melihat ke arah ibunya yang
berlari di belakangnya. Wajah yang sangat polos dengan senyumnya yang sangat
ceria, kebalikan dari ibunya yang berlari dengan muka lelah dan panik.
Di satu titik, anak itu kehilangan keseimbangan
dan jatuh terselengkat. Batu? Tanah yang licin? Kakinya sendiri? Aku tidak tahu
apa yang membuatnya jatuh. Aku tidak perduli. Satu-satunya hal adalah tempatnya
akan mendarat; tepat di belakang Akari.
Dengan berat anak tersebut, Akari terdorong jatuh
melewati batas keselamatan. Sosoknya yang anggun melawan terjangan angin pun
perlahan menghilang dari mataku. Senyumnya yang indah bagai bidadari mulai
tertarik oleh gravitasi ditemani oleh
Crepe yang sedang dipegangnya. Lagi-lagi, semua terlihat dalam bentuk slow
motion yang makin dapat memuakkanku.
*BRUK
Suara yang sangat kencang dan tidak menyenangkan.
Tubuh Akari terbaring di atas tajamnya karang dengan darah bercipratan di
mana-mana mewarnai pemandangan tersebut. Begitu juga dengan Crepe yang tadinya
dipegang oleh Akari. Crepe yang harusnya mempunyai warna yang macam-macam
sekarang telah tercat merah pekat dan hancur ke mana-mana. Di saat itu, aku
berhenti untuk melihat betapa menyedihkan, indah, kejam, dan bermaknanya
pemandangan tubuh Akari yang berlumuran darah.
Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu.
Berpuluh-puluh kali, beratus-ratus kali aku mencoba, namun aku tetap gagal. Beratus-ratus
kali, beribu-beribu kali aku mencoba, semuanya tak bisa berubah. Hari itu,
Akari tetap kehilangan segalanya. Hari itu, aku tetap kehilangan segalanya.
Menangis dan menangis. Aku hanya dapat menangis di
hari itu. Di depan batu nisan Akari yang meninggal karena ditusuk oleh ayahnya
sendiri, aku hanya dapat menangis dan menangis. Dunia sangatlah kejam, begitu
pikirku. Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, namun aku tidak
pernah merasakan kebencian yang sangat-sangat murni pada saat itu. Semua
pemandangan yang kulihat berubah menjadi abu-abu. Semua suara yang kudengar
hanya terekam sebagai suara bising. Hanya kehampaan yang dapat mengisi hati.
“Tlik” Suara air
yang jatuh dengan sangat lembut terdengar dari belakangku.
“Tlik” Pada saat
itu, aku hanya dapat mengutuk dunia dan diriku sendiri.
“Tlik” Suara air
jatuh di atas genangan lainnya.
“Tlik” Aku
menutup mataku dengan segala perasaan terkunci di dalamnya.
“Tlik” Suara air
yang dapat mengeluarkan segala kebencianku.
“Tlik” Segala
perasaan itupun meluap keluar melewati kerongkongan dan mencapai mulutku.
“Tlik” Suara air
yang dapat menghapuskan segala keberadaan.
“Tlik” Dengan perlahan,
aku pun mulai membuka bibir dan mulutku.
“Tlik” Suara air
yang mampu membuatku mengatakannya.
“Tlik” “Tlik”
“Tlik”
“Aku harap aku
dapat mengulang waktu.”
Aku terbangun di perpustakaan pada hari Kamis. Aku
memandang wajah Akari yang sedang seriusnya menggerakkan pensilnya ke sana
kemari, menggoreskan kata-kata yang keluar dari benaknya. Sambil memandang
sosoknya yang terlihat anggun, aku pun
terlelap kembali karena sudah lama sekali sejak aku tidur terakhir.
“Tlik” Waktu itu adalah suara titik air jatuh yang
kudengar bersamaan dengan suara seorang gadis yang sangat lembut.
“Hai.” Kata-kata pertama dia menyapaku dari
belakang. Aku tidak mengerti kenapa dia mulai menyapaku. Aku hanya dapat
berbalik dan melihatnya.
“Hey, apa kau percaya kepada keajaiban?” Dia
berkata dengan santainya sambil bersandar kepada dinding di tempat parkiran
sepeda itu.
“...Mungkin tidak.” Tidak tahu kenapa, aku
menjawabnya tanpa adanya kecurigaan sedikitpun kepadanya.
“Mungkin?”
“Tidak, mungkin aku percaya. Hanya saja, aku tidak
pernah melihat satu pun keajaiban di dunia ini.”
“Aku mengerti. Jikalau keajaiban pun benar-benar
ada, keajaiban tersebut hanya akan didapatkan oleh siapa yang berhak
mendapatkannya, bukankah begitu?”
“...Mungkin seperti itu.” Aku pun berbalik untuk
berjalan menuju kelas sampai akhirnya aku ingat sesuatu. Aku berbalik kembali
untuk melihat gadis tersebut dan bertanya; “Siapa namamu?”
Dia menjawab ; “Arisa. Ingatlah Hikari, keajaiban
ada tergantung siapa yang mempercayainya, atau tidak ada sama sekali.”
Aku berbalik kembali untuk menuju kelas lagi,
namun dengan segera aku mengingat bahwa aku tidak pernah memperkenalkan diriku
sendiri. Aku berbalik lagi sambil berkata; “Hey, dari mana kau—“ Namun, dia
tidak terlihat di manapun.
Itulah pertemuan pertamaku dengan Arisa yang
mengubah seluruh persepsi-ku. Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu,
namun dengan alasan yang sangat berbeda dengan kebencianku saat ini. Dunia yang
tak mau membiarkan Akari hidup di kedamaian. Dunia yang selalu memisahkan diriku
dengan Akari. Dunia di mana keajaiban mempermainkanku.
Aku
terbangun disinari oleh sinar mentari sore yang berwarna oranye. Di depanku,
Akari melihatku dan tersenyum dengan sangat manis. Aku pun tertegun melihatnya.
Wanita cantik yang mampu memikat hatiku, dihiasi sinar oranye dari matahari
beserta senyumannya yang mampu membuat hatiku luluh.
“Selamat pagi.” Katanya menggodaku.
“Maaf, aku ketiduran.” Aku mengusap-usap mataku.
“Tidak apa-apa. Kau terlihat sangat damai dan imut
ketika kau sedang tidur, jadi aku tak tega membangunkanmu.” Dia tertawa kecil
sambil menutup mulutnya dengan kepalan kecil tangannya.
“Hey, Akari. Lusa, kau mau pergi kencan denganku?”
Aku mengatakannya dengan tenang.
Di tengah jalan, Akari tertabrak mobil, meninggal
di tempat.
“Hey, Akari. Lusa, kau mau pergi kencan denganku?”
Di taman, Akari jatuh dan lehernya tertusuk ujung
pagar yang lancip, sempat meronta kesakitan lalu meninggal di tempat.
“Hey, Akari...”
Di taman bermain, roller-coaster yang kita naiki
terjadi malfungsi dan Akari jatuh di tengah wahana, meninggal di tempat dengan
darah terciprat ke mana-mana dengan suara teriakan orang-orang terdengar.
“Hey...”
Di stasiun, Akari terselengkat lalu tertabrak dan
terlindas kereta, daging di mana-mana, muntah orang-orang ke mana-mana, bau
darah dan teriakan histeris di segala arah.
“Hey, Akari...”
“Ya?” Dia menjawab dengan lembut.
“Keluargamu... Bagaimana?”
“Tidak ada perubahan... Kurasa...” Dia menjawab
dengan sedih.
“Ketika ada suatu masalah, kumohon bicaralah
kepadaku. Dan aku mohon jangan berhadapan dengan ayahmu jika ada suatu
masalah.”
Di rumah Akari, rumah Akari terbakar bersama
isinya. Keluarganya selamat, namun Akari mati terbakar karena menyelamatkan
keluarganya tersebut.
“Hey, Akari...”
“Ya?”
“...Tidak... Tidak apa-apa.”
Di rumah Akari, Akari ditusuk oleh ayahnya yang
sedang mabuk dan emosi.
Aku
memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Namun melihat, mendengar,
merasakan Akari tidak berada di sampingku berulang-ulang kali, satu-satunya
keajaiban yang kurasakan adalah bahwa aku belum menjadi gila sampai saat ini. Aku
memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, karena itu aku telah mencoba lari
berkali-kali. Tetapi setiap aku berlari, aku melihat bahwa Akari tidak ikut
bersamaku. Sama dengan sekarang, aku tetap berlari dan berlari. Waktu itu aku
berpikir, mungkin jika aku kembali lebih jauh, aku akan memperbesar
kemungkinanku untuk berhasil menyelamatkan Akari. Karena itulah aku terus
berlari kembali.
Beberapa hari sebelum kencanku di hari Sabtu, aku
mengajakn Akari untuk berlibur di villa dekat pantai. Awalnya dia tidak yakin
untuk ikut, namun karena ini memang sedang libur musim panas, akhirnya dia pun
setuju untuk pergi berlibur bersamaku untuk beberapa hari.
“Bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka mengijinkanmu
pergi untuk beberapa hari? Walaupun bersama keluargaku, aku tetap laki-laki,
lho.”
“Tidak, tentu saja mereka khawatir awalnya, tapi
aku berhasil membujuk mereka untuk mengijinkanmu kok.” Katanya sambil tersenyum
sipit. Saat itu, aku sempat khawatir apakah dia jujur mengatakan bahwa mereka
mengijinkannya untuk ikut bersamaku.
“Lagipula, aku bisa percaya kok kepada Hikari.”
Kata Akari sambil menyandarkan kepalanya kepada pundakku. Saat itu, aku merasa
udara di sekitarku menjadi panas.
Sesampainya di villa, kami segera menyimpan
barang-barang bawaan kami dan melakukan beres-beres. Pada saat aku masih
membenahi barang-barangku, Akari keluar dari kamarnya dan segera beranjak
keluar.
“Kalau begitu, aku pergi duluan ke pantai ya,
Hikari.” Katanya dengan ceria. Benar-benar orang yang semangat dan tidak sabar.
Akari berlari melewatiku sambil membawa tas
kecilnya yang kemungkinan berisi baju renangnya. Dag dig dug. Jantungku mulai
berdegup kencang saat itu. Aku tidak tahu mengapa, mungkin salah satunya adalah
imajinasiku yang mulai menjadi liar ingin cepat melihatnya memakai baju renang.
Atau mungkin...
Aku segera membalikkan badanku dan memanggil Akari
yang sedang memegang gagang pintu masuk villa.
“Akari!”
“Ya?” Dia menoleh ke arahku dengan wajahnya yang masih
bersinar-sinar dengan semangat.
“...Berhati-hatilah.” Aku mengatakannya dengan
khawatir.
“Ya!” Dia memutar gagang pintu villa dan
menariknya untuk membuka pintu tersebut. Ia pun segera beranjak keluar sambil
diterjang oleh cahaya matahari yang menyilaukan. Sangat silau seakan melahap
sosok Akari yang sedang berlari kegirangan tersebut.
Tentu saja, seperti yang sebelum-sebelumnya,
keajaiban takkan pernah gagal mengejarku. Ini bukanlah nasib buruk, dan aku tak
sudi mengatakan bahwa ini takdir. Aku pun tak tahu apakah ini salah satu
kehendak konyol Tuhan yang dibiarkan oleh para malaikat, atau permainan sadis
iblis yang diacuhkan oleh Tuhan.
Agak lama setelah aku membereskan barang-barangku,
orangtuaku masuk ke dalam villa dengan tergesa-gesa. Mereka mengatakan bahwa
Akari telah meninggal karena tenggelam di pantai.
“Kalau begitu, aku pergi duluan ke pantai ya,
Hikari.”
Akari berlari melewatiku dan aku segera menangkap
tangannya dengan wajahku yang penuh dengan kekhawatiran.
“Hikari...?”
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi?
Aku ingin menjadi orang pertama yang melihatmu dalam baju renang.” Kataku
dengan senyum pahit di muka pahitku.
Wajah Akari memerah. Dia segera menundukkan
kepalanya serendah mungkin agar aku tak melihat rona merah tersebut. Dengan
tenang, di mengangguk dan segera duduk dengan manis di bangku terdekat.
Di pantai, matahari tanpa halangan apapun sungguh menyiksa tubuh, terutama bagi tubuh
yang belum memakai sunscreen. Namun, walaupun begitu, pemandangan Akari memakai
baju renang sungguh terlihat sangat manis dan menyegarkan sampai aku melupakan
tubuhku yang seakan terbakar. Melihat tingkahnya yang sangat aktif hanya dapat
membuatku tersenyum.
“Sesenang itu kah kau bermain di pantai seperti
ini?” Aku berkata kepada Akari.
“Ahh, maaf. Seperti bukan diriku saja, ya.” Dia
menjadi lebih diam dan menjaga sikapnya.
“Tentu saja, aku melihatmu sekarang berbeda dengan
dirimu di saat lain, tapi itu bukanlah hal yang buruk bukan. Aku malah bahagia
melihatmu sesenang itu.”
“Itu karena aku jarang berlibur keluar seperti
ini, terutama bersama-sama selain orangtuaku. Selain itu, belakangan ini aku
selalu berada di rumah. Karena itu, aku sangat berterima kasih kau mau
mengajakku kemari, Hikari.” Dia tersenyum lebar dengan sangat manis. Senyuman
yang sangat terang yang dapat menyilaukanku, mengalahkan silaunya matahari yang
membakarku saat itu. Namun, walaupun terang, dapat terlihat sejumput kesedihan
tercampur di dalamnya. Senyum dan rasa terima kasih yang dapat memberitahuku
bahwa dia selalu terpenjara, dikekang dengan ketat oleh orangtuanya yang sangat
idealis, menginginkannya untuk menjadi anak yang sangat lebih dibanding
anak-anak yang lain.
“Jangan lupa untuk melakukan pemanasan sebelum
masuk ke air.”
“Baiiiik~”
Aku keliru. Seharusnya aku mengetahui bahwa Akari
adalah orang yang sangat teliti dan hati-hati terutama dalam menjalankan suatu
prosedur yang biasanya dilakukan orang-orang. Tentu saja, sebelum ini Akari
pasti melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum masuk ke air. Itu pun juga salah
satu kesalahanku yang belum mendengarkan sebab kematiannya dengan lengkap.
Beberapa saat setelah masuk ke air, Akari berenang
agak jauh dari pantai dan terperangkap jaring penangkap ikan. Benar-benar tidak
masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal membuatku tak ingin mendengarkan
alasan kenapa bisa ada jaring penangkap ikan di pantai seperti itu. Jaring
ilegal? Manusia yang ceroboh? Terbawa arus? Sudah kukatakan, aku sudah tidak
perduli alasannya. Karena ini berarti Akari takkan dapat selamat selama dia
masih berenang di pantai tersebut.
Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi?
Aku ingin menjadi orang pertama yang melihatmu dalam baju renang.” Aku berkata
dengan tenang.
Akari jatuh dari tebing untuk ke-berapa puluh
kalinya. Baju renang yang awalnya terlihat putih sekarang berubah menjadi corak
merah yang tak beraturan.
Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi?”
Akari tertimpa papan reklame untuk ke-berapa
kalinya. Wajah yang awalnya terlihat sungguh manis sekarang berubah menjadi
penyok yang dapat membuat orang-orang muntah.
Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf.”
Akari meninggal keracunan makanan di restoran
dekat pantai. Senyumnya yang awalnya terlihat sangat menyilaukan sekarang
berubah menjadi penuh dengan muntahan dengan corak merah.
Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu.
Bukanlah dunia yang menari di atas kesedihan dan keadaan kami, tapi kamilah
yang dipaksa untuk menari untuk menghibur dunia sambil menahan beban kesedihan
dan keadaan tersebut. Aku pernah berpikir, bahwa tidak seharusnya Akari ikut
menari di atas panggung penuh hina seperti ini. Akulah yang selalu menyeretnya
untuk menari, akulah yang selalu menariknya untuk ikut menahan beban tersebut. Walaupun begitu, walaupun aku merasa akulah
satu-satunya makhluk yang melakukannya dengan salah, aku tidak bisa lepas dari
rasa lega akan adanya Akari di atas panggung ini bersamaku. Aku tidak bisa
lepas dari rasa puas akan adanya Akari di sampingku dan membantuku menanggung
semua beban yang seharusnya aku sendiri yang menahannya.
“Maaf, tapi orangtuaku belum mengijinkanku
pacaran.” Kata Akari dengan pelan dan halus seakan mencoba membunuhku dengan
lembut, layaknya mencincang-cincang tanpa adanya rasa sakit.
Ia menundukkan kepalanya sambil mempertemukan
kedua jari telunjuknya. Saat itu, aku sadar bahwa aku telah ditolak, tapi
tingkahnya yang sangat manis membuatku tetap ingin melihatnya sampai kapanpun.
Mungkin inilah yang dinamakan dengan obsesi. Aku tahu obsesi bukanlah hal yang
baik, namun seperti itulah yang kurasa pada saat itu.
Aku bersiap untuk menyerah dan meninggalkan kelas
yang disinari sinar mentari sore tersebut. Akari, sambil berdiri di depan
jendela dengan gorden yang melambai ditiup oleh angin berkata kepadaku dengan
wajah yang penuh harap dan rasa bersalah.
“Tapi!! Bukan berarti aku membencimu.” Saat itulah
setitik harapan mulai menyinari hatiku.
“Malah... Aku... Aku... Aku juga menyukaimu!” Dia
mengatakannya sambil menahan rasa malunya dengan mata tertutup. Sungguh manis
membuatku ingin membawanya pulang saat itu juga.
“Kalau begitu, jika aku dapat membujuk orangtuamu,
maukah kau berpacaran denganku?” Kalimat yang seharusnya aku katakan pada saat
itu. Kalimat yang sudah kuhafalkan dan kuingat layaknya skrip film yang telah
ditulis dengan sangat sempurna. Namun kali ini, aku melakukan improvisasi
dengan tidak mengatakannya.
Kali pertama, aku mengatakannya dan dapat membujuk
orangtuanya pada akhirnya. Aku pun memperoleh berbagai macam informasi mengenai
keadaan rumah tangga Akari yang sedang tidak stabil. Ayahnya adalah mantan
konglomerat yang terkena tipu dan membuat perusahaannya sendiri bangkrut.
Ibunya hanyalah ibu rumah tangga biasa dan terlihat sangat berbeda dengan sikap
ayahnya. Jika ayahnya sangat kasar dan galak serta penuh dengan kesombongan dan
harga diri, maka ibunya adalah orang yang lembut dan halus serta baik dan
rendah hati. Walaupun Akari mengatakan bahwa ayahnya dulunya sangat penyayang
dan baik pada setiap orang, tapi itulah yang membuatnya kehilangan
perusahaannya dengan mempercayai orang yang berbuat tidak baik kepadanya.
Akhirnya, ayahnya pun berubah menjadi sampah masyarakat yang masih saja memeluk
kesombongan dan harga dirinya yang tinggi dengan erat.
Kalau diingat-ingat, aku sampai bertengkar keras
dengan ayahnya soal menjadikan Akari pacarku. Ayahnya bersikeras mengatakan aku
tak bisa apa-apa karena aku masih sekolah, aku bersikeras bahwa aku takkan
menjadi manusia tak berguna sepertinya dan mendapat luka di sana-sini. Kami
bertengkar dan berteriak sekuat tenaga sampai akhirnya ayahnya mengatakan bahwa
aku dapat melakukan sesukaku. Kalau dipikir-pikir, dia tidak pernah mengatakan
bahwa dia merestuiku berhubungan dengan Akari.
Walaupun pada awalnya dia terlihat seperti ayah
yang baik yang hanya ingin membahagiakan anaknya dengan pria yang benar,
kenyataannya tidak begitu. Dia hanyalah serigala berbulu domba yang mampu
mengorbankan segalanya hanya untuk menjunjung tinggi harga dirinya yang bahkan
tidak lebih berguna dari dirinya pada saat itu. Menusuk anaknya sendiri,
membakar rumahnya sendiri, bahkan berniat melakukan bunuh diri masal dengan
Akari dan istrinya sendiri. Aku benar-benar membenci orang itu sampai-sampai
membuatku sangat jijik ketika melihat mukanya lagi.
Sama seperti ibunya yang terlihat sangat perhatian
terhadap Akari. Tidak, mungkin memang orang itu perhatian terhadap Akari, namun
aku tidak bisa mengesampingkan kenyataan bahwa orang itulah juga yang
membiarkan tirani seperti suaminya bertindak sesukanya, mengontrol kehidupan keluarga
tersebut dengan sewenang-wenang, memonopoli dan korup terhadap kasih sayang
yang seharusnya ada dalam rumah tangga tersebut. Sedari awal dan pada akhirnya,
ibunya tak dapat melakukan apapun dan hanya diam tak berdaya melihat kebrutalan
manusia bengis tersebut. Tidak, lebih tepat disebut bahwa ia memilih tak
melakukan apapun untuk melawan hewan buas tersebut. Aku juga membenci orang
ini.
Namun, sebagaimana sesuatu yang tak dapat
dihindari, mereka adalah orangtua biologis, orangtua yang membesarkan dan merawat
Akari, orang-orang yang dicintai oleh seseorang yang kucintai. Mungkin akan
lebih sangat tepat, kalau aku mengatakan bahwa aku membenci diriku sendiri yang
tak akan pernah dapat menerima mereka sebagai bagian dari hidupku.
Hari itu adalah hari di mana aku menyatakan
cintaku kepada Akari. Kalimat yang tak akan pernah kulupa karena selalu
terulang-ulang di kepalaku layaknya kaset rusak, kali ini aku tidak
mengatakannya. Aku tidak mengatakan kalimat tersebut. Aku hanya dapat tersenyum
dengan manis sambil menahan kesedihan dan kata-kata tersebut yang berebut ingin
didengungkan dengan pita suaraku.
Sampai di rumah, aku menangis di depan kaca kamar
mandi yang merefleksikan rasa sakit dan perih yang kurasakan.
“Hey, Akari, mau makan siang denganku?” Aku mendekatinya
pada saat jam istirahat.
“Ah, maaf. Aku agak sibuk dan sepertinya tak akan
sempat makan siang hari ini.” Dia berkata dengan nada sedih dan senyum pahit
yang penuh dengan rasa bersalah.
Mulai hari itu, Akari mulai menjauhiku. Dia selalu
mengatakan bahwa dia sibuk dengan segala hal, namun aku dapat merasakan bahwa
orangtuanya, lebih tepat ayahnya, mulai mengekangknya dalam segala hal tersebut.
Sejauh ini, aku melihat Akari sebagai gadis yang
sangat hebat dan kuat. Karena sampai saat ini, ada satu pola kematian yang tak
pernah terjadi oleh Akari. Namun kali ini aku akhirnya menyadari, bahwa sebelum
menjadi pacarku, anak dari orangtuanya, dan gadis yang kuat, Akari hanyalah
seorang manusia normal.
Bayangkan segala kemuakkan, hal-hal yang menjijikkan
serta menyakitkan, hal-hal yang membuatmu tak betah, hal-hal yang membuatmu seperti terkekang dan
membuatmu ingin segera lepas darinya, serta segala hal-hal yang membuat hatimu
gulita karena ditelannya semua cahaya yang tersisa dengan kegelapan, berkumpul
menjadi satu dan menibanmu dengan segala kenistaannya tanpa adanya bantuan dari
hal-hal yang membuatmu merasakan kepuasan akan kehidupan di dunia. Ya, siapapun
takkan tahan, sama seperti apa yang terjadi pada Akari.
Pagi hari, Akari ditemukan tak bernyawa dengan
luka sayatan yang sangat dalam di pergelangan tangannya. Sosoknya tergeletak
saat itu sungguh cantik dan khidmat, begitulah pikirku.
Jadi, apa yang dapat membuatnya melakukan hal yang
tak pernah dilakukan bahkan setelah beratus-ratus kali aku mengulang hal yang
sama? Bukan karena tidak adanya hal yang dapat membantunya mengangkat segala
keburukkan. Namun justru karena ia tahu akan adanya hal tersebut, tapi sadar
bahwa hal tersebut tidak membantunya mengangkat segala keburukan tersebut.
Ditinggalkan oleh sedikit perasaan positif yang membawa segala
perasaan-perasaan positif yang tersisa, maka yang tetinggal hanyalah perasaan-perasaan
negatif yang menjadi penarik hal-hal negatif yang menimpanya sampai saat ini.
Dengan kata lain, diriku sendiri.
Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu,
tapi pada saat ini aku menyadari bahwa tidak ada dunia yang tersisa untuk
kubenci. Dan pada akhirnya, aku pun hanya dapat membenci diriku sendiri.
Sebuah penghapus jatuh ke lantai, melahirkan suara
kecil yang dapat menggetarkan hati. Aku tak menoleh ke suara tersebut dan tetap
menatap lapangan kosong lewat jendela kelas, mengacuhkan keduanya, guru yang
sedang mengajar dan suara benturan penghapus dengan lantai ubin yang mengiringi
jeritan hatiku. Itulah saat di mana aku berkenalan dengan Akari. Dengan hal
sepele seperti mengambilkan penghapusnya yang jatuh dan dengan hal sepele
seperti kata-katanya yang pertama kali kudengar dari mulutnya; “Terima kasih”.
Ya, sungguh hal yang sepele yang dapat mengubah hidupku selamanya.
Seperti yang dijanjikan, Akari tidak ingat apapun
tentangku. Siapa nama lengkapku, di mana alamat rumahku, kapan aku berulang
tahun, kenapa aku terlihat seperti tak mempunyai teman, bagaimana aku melihat
dunia, dan apa hubunganku dengannya. Dia tak ingat satu hal pun. Dia hanya
menjalani kehidupannya dengan normal layaknya gadis-gadis biasa tanpa adanya
diriku di sampingnya.
Ini semua untuk yang terbaik, ini semua untuk yang
terbaik, begitulah kata-kata yang berulang-ulang kali kuucapkan layaknya
seorang penyihir yang sedang melafalkan mantranya.
Musim-musim mulai berganti, waktu bergulir
kembali. Tahun pun mulai bergilir, dan sekarang aku sudah menjadi pelajar
SMA. Aku berjalan dengan santai sambil
memikul tasku dengan lesu.
Waktu pulang sekolah, anak-anak yang tak mengikuti
klub apapun segera beranjak pulang. Di seberang jalan, sekumpulan perempuan
sedang berbincang-bincang dengan suara yang kencang dan senyum bahagia
tertempel di wajah mereka masing-masing. Di arah yang lain, suara jangkrik
dengan merdu merasuk melalui telingaku. Salah satu dari perempuan-perempuan itu
pun menoleh dan berbalik badan untuk melihatku. Ia lalu berlari ke arahku tanpa
menghiraukan teman-temannya yang sedang tertawa. Tanpa melihat-lihat, ia
berlari ke arahku melewati jalan raya tersebut. *Tiiiiiiin* Ya, pada akhirnya,
tidak ada yang benar-benar berubah.
Untuk apa aku hidup? Demi apa aku dilahirkan ke
dunia ini? Apakah hanya untuk menjadi alat pengisi kebosanan Tuhan? Apa itu
keajaiban? Apakah sesuatu yang seperti itu ada di dunia? Apakah benar-benar ada
orang yang pernah menyaksikan suatu keajaiban? Apa itu cinta? Apakah sesuatu
yang layak untuk dimiliki manusia? Apakah benar-benar ada orang yang telah
mendapatkan dan telah sepenuhnya mengerti hal tersebut? Apa itu kehidupan?
Apakah sesuatu yang berhubungan dengan takdir? Apakah takdir benar-benar ada di
dunia ini? Apa itu kehidupan? Apakah sesuatu yang telah ditentukan secara
ultimatum oleh Tuhan sehingga kita tidak bisa mengubahnya?
Aku membenci diriku sendiri. Pada akhirnya, hanya
waktulah yang aku dapatkan dengan menukar waktuku yang lain. Dan dengan waktu
yang kudapatkan dengan sia-sia tersebut, aku hanya dapat berpikir sambil
terjebak di dalamnya. Di tempat yang tak memiliki apapun kecuali waktu, aku mengorbankan
seluruh waktuku hanya untuk menyadari bahwa aku tak bisa mengembalikan waktu
yang telah terpakai dan hilang. Sebuah pelajaran, setidaknya itulah yang aku
pikir bisa aku dapatkan. Suatu keoptimisan yang tidak kumiliki sedari dulu.
Mungkin karena ada sesuatu yang membuatku harus berpikir seperti itu.
Aku membenci diriku sendiri. Terperangkap dalam
waktu yang tak berjalan ke mana pun, aku hanya diam termangun memikirkan segala
hal yang terlintas dalam pikiranku. Semakin lama aku berpikir, semakin semuanya
menjadi tidak masuk akal. Tapi hanya berpikirlah yang dapat aku lakukan di
dunia yang hanya memiliki waktu seperti ini. Aku pun mencoba untuk menjadi
terbiasa dengan segala pikiran-pikiran dan ide-ide semu yang tak masuk akal.
Aku membenci diriku sendiri. Terlarut dalam
bayang-bayang kasih sayang dan cinta, mati ketika kasih sayang dan cinta
tersebut direnggut dariku. Terbelenggu dan terhenti di dalam waktu yang
kubekukan oleh diriku sendiri, aku hanya dapat menghela nafas sambil mendengarkan
cerita tanpa suara dengan diriku sendiri sebagai pemainnya.
Aku membenci diriku sendiri. Sungguh sangat
disayangkan ketika mengetahui bahwa cerita di mana aku sebagai pemainnya
tersebut adalah cerita tragedi di mana tidak akan ada dunia di mana semua orang
berbahagia. Sungguh sangat disayangkan ketika mengetahui bahwa cerita di mana
aku sebagai pemainnya tersebut diakhiri dengan sesuatu yang bukan dengan akhir
bahagia layaknya cerita-cerita lain yang membuat iri atas penutupnya.
Aku membenci diriku sendiri. Membiarkan diriku
dipermainkan dan dijadikan alat penghibur tanpa memperhatikan perasaanku
sedikitpun, aku memaki diriku sendiri. Menari-nari di atas panggung sambil
mencari jalan keluar dari opera yang memuakkan, aku hanya dapat menemukan latar
baru untuk memulai adegan baru yang belum aku mainkan.
Aku membenci diriku sendiri. Pada akhirnya, aku
hanya dapat duduk menonton semua rekaman tarian menyedihkan yang aku lakukan
sendiri. Merefleksikan kebodohanku yang mau diperalat oleh benang-benang tak
terlihat layaknya seorang boneka.
Aku membenci diriku sendiri. Tidak ada lagi dunia
bagi diriku, tidak ada lagi tempat bagi diriku. Semua yang kulihat di dunia ini
berubah menjadi satu-satunya yang hampir tak terpengaruh oleh waktu, yaitu
pecahan-pecahan yang tanpa disadari berkumpul menjadi satu membentuk gambar
pemandangan yang tak berhenti aku tatap walaupun aku telah muak berada di
depannya.
Aku membenci diriku sendiri. Sekali lagi aku terus
berpikir, apakah keajaiban benar-benar sesuatu yang nyata di dunia ini? Atau
hanya aku saja yang tak berhak mendapatkannya di dunia sama sekali?