Minggu, 03 Maret 2013

Hikari's Time


So, this is one of the side stories, I decided to make it first.
I'm sorry it's in Indonesian.


Hari itu adalah waktu di mana semuanya menjadi masuk akal. Tidak, mungkin tidak bisa dibilang seperti itu. Justru hari itu adalah hari di mana aku menyadari bahwa tidak ada yang masuk akal di dunia ini. Mimpi, cita-cita, khayalan, takdir, cinta, kasih sayang, kehangatan, apa maksud dari kata-kata tersebut ya? Pergi dan kembali, terus menerus, berputar-putar dan berulang-ulang kupikirkan untuk mengetahui arti dari kata-kata tersebut. Tetapi, semakin aku berpikir dan mencoba untuk mengerti, aku malah semakin menjauh dari pengertian sebenarnya. Aku bahkan mulai ragu apakah memang ada pengertian yang benar-benar benar untuk dipasangkan dengan kata-kata tersebut. Sama dengan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang benar-benar benar di dunia ini? Aku tidak tahu, dan aku tidak berpikir aku akan mengetahui hal itu dalam hidupku.
                Hidup itu sungguh sederhana, kita hanya perlu makan, bertahan hidup, dan berkembang-biak. Mungkin memang terdengar agak kasar, tapi bukankah memang dari awal untuk itulah kita hidup? Atau tidak? Yang pasti, hidup itu sederhana, manusialah yang penuh dengan misteri. Sesuatu yang misterius itu tidak akan ada jika tidak ada manusia yang membuatnya menjadi sesuatu yang misterius. Jadi, tidak heran kalau manusialah yang penuh dengan misteri sedari awal. Dengan akalnya, manusia mulai berpikir dan berpikir, mungkin karena memang hanya dengan berpikirlah mereka dapat menggunakan akal mereka. Namun, lama-kelamaan manusia malah mulai ketagihan dengan berpikir. Mempermasalahkan banyak hal di dunia, membuat banyak misteri dalam hidupnya, mempertanyakan alasan kehidupannya. Yah, walaupun mungkin itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Dan pertanyaan paling besar; untuk apa kita diciptakan?
                Dengan asumsi bahwa Tuhan, suatu eksistensi yang melebihi segalanya, itu benar-benar ada dan Dialah yang menciptakan manusia. Coba kita pikir, tingkatan eksistensi manusia sungguh berbeda jauh dengan Tuhan, tentu saja karena memang  Tuhan yang menciptakan manusia, layaknya manusia membuat robot yang digunakan sebagai alat. Mereka bilang walau orangtua yang melahirkan seorang anak, tapi orangtua tidak memiliki hak untuk merenggut kehidupan anak tersebut karena memang dia telah terlahir. Tapi layaknya hubungan robot dengan manusia, hubungan manusia dengan Tuhan bukanlah seperti ayah dan anak. Layaknya manusia yang hanya menganggap bahwa robot hanyalah alat untuk digunakan, apakah memang benar bahwa Tuhan juga hanya melihat manusia sebagai alat? Layaknya manusia yang memiliki hak untuk merebut kehidupan robot, apakah memang benar bahwa Tuhan juga memiliki hak untuk merebut kehidupan manusia?
Sekali lagi, semakin aku berpikir, semakin aku tak mengerti dan semakin aku jauh dari apa yang aku pikirkan. Setiap suatu memiliki hubungan dengan suatu lainnya, namun tak memiliki akar. Sungguh suatu kesalahan jika aku malah mencari setiap cabang yang terhubung kepada suatu tersebut yang aku jadikan inti. Semakin aku berpikir, semakin aku menyusuri cabang, yang aku temukan hanyalah cabang dan cabang lagi, tiada akar atau inti biji. Seperti itulah dunia, kurasa. Tapi, aku juga tak bisa berhenti berpikir. Karena seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, akalku hanyalah dapat digunakan untuk berpikir.
                Kembali lagi ke waktu itu. Kalau aku pikir-pikir lagi, waktu itu mungkin adalah waktu teraneh yang aku alami sejauh ini. Pengalaman yang sungguh menarik walaupun tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupanku yang sangat biasa. Tidak, mungkin itu adalah pengalaman yang memiliki pengaruh paling besar terhadap hidupku sampai aku tak begitu merasa terpengaruhi, karena satu-satunya hal yang terpengaruh adalah caraku melihat dunia ini. Bagaimana caraku melihat dunia ini? Tentu saja dengan caraku sendiri. Bagaimana dengan sekarang? Tentu saja masih dengan caraku sendiri, namun perubahan fundamental pada caraku melihat dunia ini tidak merubah label bahwa bagaimana caraku melihat dunia ini adalah caraku sendiri. Memusingkan, memang.
                Siang yang sungguh terik, begitu pikirku sambil menahan sinar matahari memasuki mataku dengan bayangan yang dibuat tangan kananku sendiri. Surga yang sungguh kecil, hanya cukup untuk menutupi sebagian mukaku. Aku terus mengeluh dan mengeluh, untuk apa sinar matahari diciptakan sepanas ini. Tentu saja itu hanyalah pertanyaan konyol, namun tetap saja aku tak bisa menahannya ketika aku diterjang neraka yang besar dengan hanya pertahanan yang sangat kecil. Tapi ini juga salahku karena tidak membawa apapun dari rumah. Kalau saja aku setidaknya membawa topi, mungkin setidaknya aku bisa melihat ke depan dengan jelas.
“....Pa....Naaaaaaaas....”
Keluhku sambil menurunkan lenganku dengan lesu. Keringat telah membasahi sekujur tubuhku, membuat seluruhnya agak lengket dan tidak nyaman. Aspal yang kupijaki juga mengeluarkan hawa panas. Bahkan suara jangkrik yang seharusnya bisa terdengar merdu sekarang malah seperti kesakitan terserang oleh panas ini.
Di depanku, anak-anak terlihat dengan senangnya berlari-lari di cuaca yang sangat panas seperti ini. Dan mereka sambil memegang es krim di tangan mereka. Walaupun di depanku adalah toko manisan yang menjual es krim, tetap saja aku tidak bisa membelinya karena aku tidak memiliki uang. Aku hanyalah seorang pelajar SMA yang tak memiliki pekerjaan sambilan dan hanya bergantung pada uang saku yang diberikan oleh orangtua, jadi aku benar-benar tak mempunyai pilihan untuk menahan hausku. Tapi, walaupun begitu, melihat mereka dengan segarnya malah makin membuat diriku putus asa dan semakin haus.
Ahh, mereka berlari ke arahku. Lalu salah satu dari mereka melihatku dengan tampangnya yang sangat polos, yang mungkin juga kebingungan. Mulutnya terbuka lebar, hidungnya mengeluarkan cairan ingus yang lumayan banyak, hampir masuk ke mulutnya. Ia memegang es krim yang sedang dalam proses pelelehan oleh panas alami.
                Aku tersenyum aneh sambil melambaikan tanganku, lalu menunjuk tangannya.
“Hey, dik, kalau tak mau kau makan, boleh buatku saja?”
Tanpa bilang apa-apa, dia menggerakan kepalanya dan melihat tangannya yang basah karena lelehan es yang ia pegang. Setelah terdiam sejenak, dia pun melihat kembali kepadaku dan—
“Weeeeek!!” Dan anak itu pun lari mengejar teman-temannya.
Aku menundukkan kepalaku menghadap jalan dan menjatuhkan tanganku yang tadinya masih di udara menunjuk es krim yang sudah pergi. Dunia memang kejam. Walaupun mungkin konten di mana seharusnya kalimat seperti itu dikatakan berbeda, tetap saja dunia memang kejam. Oh, apakah Tuhan memang telah membuangku di saat-saat seperti ini. Mungkin ini juga salahku yang memang tidak pernah meminta atau menyembah Tuhan di saat-saat senang. Tapi tetap saja, bukankah Tuhan tidak pernah meninggalkan makhluk ciptaannya dalam penderitaan? Oh, aku tidak bisa membedakan keringatku dengan airmataku sekarang.
Saat aku masih berpikir hal-hal gelap seperti itu, sebuah bayangan menutupiku dari sinar matahari. Aku pun menoleh ke sampingku, merasakan bahwa ada seseorang yang berdiri di sana.
“Bidadariku!” Teriakku ketika aku melihat seorang gadis sedang memegang sebuah parasol untuk melindungi tubuhku dan tubuhnya dari sinar yang tak kenal ampun tersebut.
Perempuan itu hanya tersenyum dengan manis mendengar gombalanku. Yah, kalau itu memang bisa disebut sebagai gombalan. Dia pun lalu menyodorkan tangannya yang satu lagi yang sedang memegang sebuah botol minuman dingin, teh hijau lebih tepatnya.
“Silahkan.” Gadis itu berkata dengan lembut. Suaranya yang lemah gemulai mudah terdengar karena terbawa oleh angin. Parasnya yang cantik dengan matanya yang bulat dan bibirnya yang tipis membuatku terpaku untuk sesaat menatapnya. Rambutnya yang bergoyang diayun oleh angin sungguh terlihat cocok berdampingan dengan dirinya. Tubuhnya yang langsing dan proporsional pun juga salah satu kelebihan utama gadis ini.
                Aku pun menjulurkan tanganku untuk mengambil botol minuman tersebut darinya. Dingin, telapak tanganku yang sedang kehausan pun merasa terpuaskan dengan bersentuhannya kulit paling luarnya dengan kulit paling luar botol tersebut. Dinginnya pun merambat ke dalam kulit, menjulur ke sekitar tangan. Tanpa ragu, aku pun membuka tutup botol tersebut dan meminum isinya. Sungguh menyegarkan, rasa haus mulai sirna dari kerongkonganku yang sudah hampir kering diterjang hawa panas bumi.
“Puaaaaah... Kau memang penyelamat jiwa. Terima kasih banyak, Akari.” Kataku sambil tersenyum setelah menutup kembali botol tersebut dan mengembalikan botol tersebut kepada gadis itu. Gadis itu pun tersenyum manis sambil menempatkan tangannya menyelimuti tanganku untuk mengambil botol minuman yang kupegang. Tangannya sungguh halus dan lembut. Sungguh suatu yang abnormal pula tangannya tidak berasa terlalu panas di tengah hari seperti ini. Yah, atau mungkin memang karena seluruh tubuhnya dilindungi oleh parasol sedari awal. Perlahan, ia mulai menarik botol itu dari tanganku dan membuka tutup botol itu lalu meminumnya dengan khidmat. Sungguh pemandangan yang tak biasa kau lihat. Pemandangan yang benar-benar khidmat dengan setitik air yang mengalir melalui lehernya, membentuk jalan bercabang membasahi kulit bagian luarnya. Matanya tertutup, terlihat sangat menikmati puasnya dahaga yang ditahan. Bibirnya menempel pada bibir botol, kerongkongannya menelan dengan pola yang dapat disadari dengan mudah, layaknya degup jantung. Dia pun menurunkan botol tersebut dan menutupnya kembali. Ia lalu menoleh kearahku dengan wajah merah merona dan tersenyum kepadaku.
“Umm! Benar-benar segar ya, Hikari.” Katanya dengan ceria. Aku pun ikut tersenyum bersamanya.
“Baiklah, mari kita pergi sekarang.” Aku lalu menggapai tangan Akari dan memegangnya dengan erat dan tanganku yang satu mengambil parasol Akari untuk membawanya. Akari pun menggenggam tanganku dengan erat juga. Tangan yang sungguh halus bagaikan diuntai oleh benang sutra dan dibuat dari kain wool. Tangan yang sangat hangat yang mampu mengusir semua hawa dingin di dalam hati. Yah, memang agak berlebihan, tapi memang sebegitu bahagianyalah aku sekarang.
Sehari sebelum ini, aku mengajak Akari untuk berkencan, dan dengan sangat bahagianya, dia pun menerima ajakanku. Akari adalah pacarku dari beberapa minggu yang lalu. Kami dulu pertama bertemu  di kelas satu SMP, dan kami pun masuk ke dalam SMA yang sama. Parasnya yang lembut dan anggun serta sikapnya yang selalu positif dan ceria selalu menemukan celah untuk membuatku jatuh cinta kepadanya. Karena itu, beberapa minggu yang lalu pun aku memberanikan diriku untuk menembaknya. Tapi tidak, mungkin bukan beberapa minggu yang lalu.
Kami sampai di suatu mall sambil bergandeng tangan. Karena di dalam ruangan, aku pun telah menutup parasol yang Akari bawa dan Akari menyimpannya dalam tas kecil yang ia bawa. Walaupun hanya melihat-lihat, aku benar-benar bahagia hanya dengan melihat wajah Akari di sampingku saat ini.
“Hei, hei, Hikari, bukankah ini lucu sekali?” Kata Akari memulai pembicaraan sambil memegang suatu boneka.
“Tentu, kau menginginkannya?”
“Ahh, harganya mahal sekali.”
“Mana coba lihat.” Aku menjulurkan tanganku untuk meraih boneka tersebut, namun Akari menariknya dari jangkauanku.
“Tidak boleh! Harganya mahal.”
“Bukannya tadi kau bilang lucu?”
“Bukan berarti aku menginginkannya, lho!” Akari lalu menaruh boneka tersebut ke raknya kembali.

                Kami pun berjalan-jalan dan menikmati waktu kencan kami. Sampai pada akhirnya kami sampai di suatu toko elektronik yang besar. Akari mengatakan belakangan ini dia membutuhkan laptop untuk membantunya menulis. Akari sangat suka menulis dengan khayalannya yang tak dapat ditandingi oleh orang lain. Namun entah mengapa, aku tidak terlalu suka melihatnya menulis.
*DOR
“JANGAN BERGERAK!! INI ADALAH PERAMPOKAN!!” Setelah terdengar suara letusan senjata api, beberapa orang dengan topeng menempel di wajah mereka pun menodongkan pistol mereka kepada orang-orang yang ada di dalam toko tersebut. Mereka lalu mengumpulkan orang-orang di dalam toko sebagai sandera sampai polisi pun datang.
Akari memeluk tanganku dengan khawatir. Situasi ini bukanlah situasi yang biasanya orang duga. Terlibat dalam suatu perampokan bukanlah hal yang menyenangkan, baik di sisi sandera, polisi, maupun perampok itu sendiri. Karena itu, kami semua menjadi tegang dan panik dalam hati kami. Terlihat ketakutan dari semua orang yang dikumpulkan menjadi sandera. Badan mereka pun gemetaran tak karuan, termasuk diriku dan Akari.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka menarik Akari. Tentu saja aku mencoba melawan, tapi orang itu segera memukulku begitu aku mencoba menahan Akari. Orang itu lalu membawa Akari ke depan pintu dan menodongkan senjatanya kepada Akari sambil mengucapkan kata-kata kasar kepada polisi-polisi yang mengepung mereka. Keadaan menjadi tambah panas, orang-orang telah kehilangan kesabaran mereka. Keputus-asaan menyampari setiap orang yang berada di sekitar tempat kejadian. Lalu,
*DOR
Orang itu pun menembak Akari, tepat di kepalanya. Keadaan tambah menjadi ribut, namun aku tak bisa mendengar apa-apa. Waktu berjalan menjadi makin lambat, memperlihatkan adegan slow-motion Akari jatuh ke lantai dengan darah mengalir dari kepalanya. Aku hanya melihatnya tanpa berbuat apa-apa dengan mata yang terbuka lebar. Warna merah darah dari kepala Akari mulai membuatku mual.
*BRUK
Tubuh Akari yang sudah tak memiliki nyawa dan senyumannya itu pun terbaring di atas lantai dengan darah yang merambat menuju setiap arah.

                Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Namun, aku tak akan dapat menerima pemandangan yang serupa seberapa kali pun diulang di depan mata kepalaku sendiri. Aku tidak mau terbiasa, aku tidak akan pernah terbiasa. Melihat hal-hal yang tak ingin kau lihat, dipaksa memakan hal yang memuakkan, semuanya hanya akan membuat dirimu ingin memuntahkan segala yang telah kau simpan. Layaknya apa yang terjadi, mau berapa kali pun, aku tak mau menerimanya, aku tidak akan pernah bisa menerimanya.

Aku lalu membuka mataku dan menyadari bahwa aku sedang tertidur di atas meja. Aku meluruskan badanku dan melihat Akari duduk di depanku sedang menulis sesuatu di bukunya. Sosoknya terlihat sangat serius dan khidmat, namun ada tanda kesedihan dan kesepian yang tertanam di dalam dirinya. Walaupun ini terdengar tidak pantas, aku harus mengatakan bahwa ekspresi sedih tersebut sangat cocok dimiliki oleh Akari. Dan karena itu pula, aku tidak begitu suka melihatnya menulis.

Kami berada di dalam perpustakaan dalam sekolah, hari Kamis, 2 hari sebelum hari libur.
“Hey, Akari.” Aku memanggilnya yang sedang menggerakkan jarinya mengendalikan pensil.
“Ya?” Hikari menjawab dengan lembut tanpa memalingkan pandangannya kepada buku tersebut.
“Lusa, apa kau bebas?”
“Ya, ada apa?”
“Apa kau mau... Pergi kencan pada hari itu?” Aku menjawab dengan malu-malu. Ini adalah salah satu aturannya.
“!!” Dia segera menoleh ke arahku dengan muka yang terkejut sekaligus senang.
“Tidak mau...?” Aku berkata dengan ragu-ragu.
“Tidak!! Tentu saja aku mau!! Aku mau!!” Dia menganggukkan kepalanya sekuat tenaga dengan wajah yang dihiasi oleh warna yang merah merona. Dia benar-benar terlihat sangat senang dengan senyumnya yang sangat lebar di wajahnya.

                Sabtu, hari di mana aku berkencan dengan Akari. Sambil menunggu di depan toko permen yang paling terkenal di daerahku, aku menahan haus yang menyerangku sampai akhirnya Akari datang dengan Parasol dan minuman dingin.
“Maaf ya. Apa kau menunggu lama?” Katanya dengan sangat lembut dan wajah yang memelas manis.
“Tidak kok, aku juga baru datang.”   Impian setiap pria, mengatakan hal yang seperti itu. Aku pun juga tak akan pernah bosan mengatakan itu berapa kalipun.
“Baiklah, ayo kita pergi, Hikari.”
Aku menggapai tangan Hikari dan menggenggamnya, lalu berjalan menuju laut. Kencan kami kali ini adalah melihat pemandangan laut sambil memakan Crepe yang telah kami beli. Sambil berdiri di belakang papan penjaga agar tak ada yang jatuh ke atas karang, kami melihat ke kejauhan dan berbincang-bincang dengan riangnya. Sampai akhirnya, aku membawa topik yang seharusnya tidak pernah kubawa.
“Keluargamu... Bagaimana?”
Senyumnya terhenti, ia menutup mulutnya dan menurunkan Crepe yang tadinya dia angkat mendekati mulutnya.
“Tidak ada perubahan. Ayah masih saja tetap menjadi manusia yang tidak berguna. Ibu juga sudah terlihat sangat lelah.”
Kesedihannya pun semakin dalam menusuk hatiku.
“Kau telah mencoba berbicara kepadanya?”
“Belum.”
Baguslah, dia belum berbicara kepada ayahnya yang telah menjadi sampah masyarakat itu.
“Maaf ya, aku malah mengangkat topik seperti ini.”
“Tidak apa-apa. Aku malah senang, karena Hikari perhatian kepadaku.” Ia berkata sambil tersenyum dengan sangat manis sambil diiringi angin yang membuai dari laut. Senyum yang sangat manis yang dapat membuatku terdiam dan ingin menghentikan waktu. Senyum yang sangat manis yang tak bisa membuatku bosan.
Akan sangat menyayat hatiku, bila sampai pada saatnya aku harus berhenti melihat senyuman itu.
Dari belakang, seorang anak berlari sambil dikejar oleh orangtuanya.
“Stop! Ken-chaaaan!” Seorang wanita, ibunya berlari dan berteriak dengan wajah yang khawatir.
“Ahahahaha! Tangkap aku, ibu!” Anak itu berlari ke arah kami dengan riangnya sambil melambai dan melihat ke arah ibunya yang berlari di belakangnya. Wajah yang sangat polos dengan senyumnya yang sangat ceria, kebalikan dari ibunya yang berlari dengan muka lelah dan panik.
Di satu titik, anak itu kehilangan keseimbangan dan jatuh terselengkat. Batu? Tanah yang licin? Kakinya sendiri? Aku tidak tahu apa yang membuatnya jatuh. Aku tidak perduli. Satu-satunya hal adalah tempatnya akan mendarat; tepat di belakang Akari.
Dengan berat anak tersebut, Akari terdorong jatuh melewati batas keselamatan. Sosoknya yang anggun melawan terjangan angin pun perlahan menghilang dari mataku. Senyumnya yang indah bagai bidadari mulai tertarik oleh gravitasi ditemani  oleh Crepe yang sedang dipegangnya. Lagi-lagi, semua terlihat dalam bentuk slow motion yang makin dapat memuakkanku.
*BRUK
Suara yang sangat kencang dan tidak menyenangkan. Tubuh Akari terbaring di atas tajamnya karang dengan darah bercipratan di mana-mana mewarnai pemandangan tersebut. Begitu juga dengan Crepe yang tadinya dipegang oleh Akari. Crepe yang harusnya mempunyai warna yang macam-macam sekarang telah tercat merah pekat dan hancur ke mana-mana. Di saat itu, aku berhenti untuk melihat betapa menyedihkan, indah, kejam, dan bermaknanya pemandangan tubuh Akari yang berlumuran darah.

Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Berpuluh-puluh kali, beratus-ratus kali aku mencoba, namun aku tetap gagal. Beratus-ratus kali, beribu-beribu kali aku mencoba, semuanya tak bisa berubah. Hari itu, Akari tetap kehilangan segalanya. Hari itu, aku tetap kehilangan segalanya.

Menangis dan menangis. Aku hanya dapat menangis di hari itu. Di depan batu nisan Akari yang meninggal karena ditusuk oleh ayahnya sendiri, aku hanya dapat menangis dan menangis. Dunia sangatlah kejam, begitu pikirku. Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, namun aku tidak pernah merasakan kebencian yang sangat-sangat murni pada saat itu. Semua pemandangan yang kulihat berubah menjadi abu-abu. Semua suara yang kudengar hanya terekam sebagai suara bising. Hanya kehampaan yang dapat mengisi hati.
“Tlik” Suara air yang jatuh dengan sangat lembut terdengar dari belakangku.
“Tlik” Pada saat itu, aku hanya dapat mengutuk dunia dan diriku sendiri.
“Tlik” Suara air jatuh di atas genangan lainnya.
“Tlik” Aku menutup mataku dengan segala perasaan terkunci di dalamnya.
“Tlik” Suara air yang dapat mengeluarkan segala kebencianku.
“Tlik” Segala perasaan itupun meluap keluar melewati kerongkongan dan mencapai mulutku.
“Tlik” Suara air yang dapat menghapuskan segala keberadaan.
“Tlik” Dengan perlahan, aku pun mulai membuka bibir dan mulutku.
“Tlik” Suara air yang mampu membuatku mengatakannya.
“Tlik” “Tlik” “Tlik”
“Aku harap aku dapat mengulang waktu.”

Aku terbangun di perpustakaan pada hari Kamis. Aku memandang wajah Akari yang sedang seriusnya menggerakkan pensilnya ke sana kemari, menggoreskan kata-kata yang keluar dari benaknya. Sambil memandang sosoknya yang  terlihat anggun, aku pun terlelap kembali karena sudah lama sekali sejak aku tidur terakhir.

“Tlik” Waktu itu adalah suara titik air jatuh yang kudengar bersamaan dengan suara seorang gadis yang sangat lembut.
“Hai.” Kata-kata pertama dia menyapaku dari belakang. Aku tidak mengerti kenapa dia mulai menyapaku. Aku hanya dapat berbalik dan melihatnya.
“Hey, apa kau percaya kepada keajaiban?” Dia berkata dengan santainya sambil bersandar kepada dinding di tempat parkiran sepeda itu.
“...Mungkin tidak.” Tidak tahu kenapa, aku menjawabnya tanpa adanya kecurigaan sedikitpun kepadanya.
“Mungkin?”
“Tidak, mungkin aku percaya. Hanya saja, aku tidak pernah melihat satu pun keajaiban di dunia ini.”
“Aku mengerti. Jikalau keajaiban pun benar-benar ada, keajaiban tersebut hanya akan didapatkan oleh siapa yang berhak mendapatkannya, bukankah begitu?”
“...Mungkin seperti itu.” Aku pun berbalik untuk berjalan menuju kelas sampai akhirnya aku ingat sesuatu. Aku berbalik kembali untuk melihat gadis tersebut dan bertanya; “Siapa namamu?”
Dia menjawab ; “Arisa. Ingatlah Hikari, keajaiban ada tergantung siapa yang mempercayainya, atau tidak ada sama sekali.”
Aku berbalik kembali untuk menuju kelas lagi, namun dengan segera aku mengingat bahwa aku tidak pernah memperkenalkan diriku sendiri. Aku berbalik lagi sambil berkata; “Hey, dari mana kau—“ Namun, dia tidak terlihat di manapun.

Itulah pertemuan pertamaku dengan Arisa yang mengubah seluruh persepsi-ku. Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, namun dengan alasan yang sangat berbeda dengan kebencianku saat ini. Dunia yang tak mau membiarkan Akari hidup di kedamaian. Dunia yang selalu memisahkan diriku dengan Akari. Dunia di mana keajaiban mempermainkanku.

                Aku terbangun disinari oleh sinar mentari sore yang berwarna oranye. Di depanku, Akari melihatku dan tersenyum dengan sangat manis. Aku pun tertegun melihatnya. Wanita cantik yang mampu memikat hatiku, dihiasi sinar oranye dari matahari beserta senyumannya yang mampu membuat hatiku luluh.
“Selamat pagi.” Katanya menggodaku.
“Maaf, aku ketiduran.” Aku mengusap-usap mataku.
“Tidak apa-apa. Kau terlihat sangat damai dan imut ketika kau sedang tidur, jadi aku tak tega membangunkanmu.” Dia tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan kepalan kecil tangannya.
“Hey, Akari. Lusa, kau mau pergi kencan denganku?” Aku mengatakannya dengan tenang.

Di tengah jalan, Akari tertabrak mobil, meninggal di tempat.

“Hey, Akari. Lusa, kau mau pergi kencan denganku?”

Di taman, Akari jatuh dan lehernya tertusuk ujung pagar yang lancip, sempat meronta kesakitan lalu meninggal di tempat.

“Hey, Akari...”

Di taman bermain, roller-coaster yang kita naiki terjadi malfungsi dan Akari jatuh di tengah wahana, meninggal di tempat dengan darah terciprat ke mana-mana dengan suara teriakan orang-orang terdengar.

“Hey...”

Di stasiun, Akari terselengkat lalu tertabrak dan terlindas kereta, daging di mana-mana, muntah orang-orang ke mana-mana, bau darah dan teriakan histeris di segala arah.

“Hey, Akari...”
“Ya?” Dia menjawab dengan lembut.
“Keluargamu... Bagaimana?”
“Tidak ada perubahan... Kurasa...” Dia menjawab dengan sedih.
“Ketika ada suatu masalah, kumohon bicaralah kepadaku. Dan aku mohon jangan berhadapan dengan ayahmu jika ada suatu masalah.”

Di rumah Akari, rumah Akari terbakar bersama isinya. Keluarganya selamat, namun Akari mati terbakar karena menyelamatkan keluarganya tersebut.

“Hey, Akari...”
“Ya?”
“...Tidak... Tidak apa-apa.”

Di rumah Akari, Akari ditusuk oleh ayahnya yang sedang mabuk dan emosi.

                Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Namun melihat, mendengar, merasakan Akari tidak berada di sampingku berulang-ulang kali, satu-satunya keajaiban yang kurasakan adalah bahwa aku belum menjadi gila sampai saat ini. Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, karena itu aku telah mencoba lari berkali-kali. Tetapi setiap aku berlari, aku melihat bahwa Akari tidak ikut bersamaku. Sama dengan sekarang, aku tetap berlari dan berlari. Waktu itu aku berpikir, mungkin jika aku kembali lebih jauh, aku akan memperbesar kemungkinanku untuk berhasil menyelamatkan Akari. Karena itulah aku terus berlari kembali.

Beberapa hari sebelum kencanku di hari Sabtu, aku mengajakn Akari untuk berlibur di villa dekat pantai. Awalnya dia tidak yakin untuk ikut, namun karena ini memang sedang libur musim panas, akhirnya dia pun setuju untuk pergi berlibur bersamaku untuk beberapa hari.

“Bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka mengijinkanmu pergi untuk beberapa hari? Walaupun bersama keluargaku, aku tetap laki-laki, lho.”
“Tidak, tentu saja mereka khawatir awalnya, tapi aku berhasil membujuk mereka untuk mengijinkanmu kok.” Katanya sambil tersenyum sipit. Saat itu, aku sempat khawatir apakah dia jujur mengatakan bahwa mereka mengijinkannya untuk ikut bersamaku.
“Lagipula, aku bisa percaya kok kepada Hikari.” Kata Akari sambil menyandarkan kepalanya kepada pundakku. Saat itu, aku merasa udara di sekitarku menjadi panas.

Sesampainya di villa, kami segera menyimpan barang-barang bawaan kami dan melakukan beres-beres. Pada saat aku masih membenahi barang-barangku, Akari keluar dari kamarnya dan segera beranjak keluar.
“Kalau begitu, aku pergi duluan ke pantai ya, Hikari.” Katanya dengan ceria. Benar-benar orang yang semangat dan tidak sabar.
Akari berlari melewatiku sambil membawa tas kecilnya yang kemungkinan berisi baju renangnya. Dag dig dug. Jantungku mulai berdegup kencang saat itu. Aku tidak tahu mengapa, mungkin salah satunya adalah imajinasiku yang mulai menjadi liar ingin cepat melihatnya memakai baju renang. Atau mungkin...
Aku segera membalikkan badanku dan memanggil Akari yang sedang memegang gagang pintu masuk villa.
“Akari!”
“Ya?” Dia menoleh ke arahku dengan wajahnya yang masih bersinar-sinar dengan semangat.
“...Berhati-hatilah.” Aku mengatakannya dengan khawatir.
“Ya!” Dia memutar gagang pintu villa dan menariknya untuk membuka pintu tersebut. Ia pun segera beranjak keluar sambil diterjang oleh cahaya matahari yang menyilaukan. Sangat silau seakan melahap sosok Akari yang sedang berlari kegirangan tersebut.

Tentu saja, seperti yang sebelum-sebelumnya, keajaiban takkan pernah gagal mengejarku. Ini bukanlah nasib buruk, dan aku tak sudi mengatakan bahwa ini takdir. Aku pun tak tahu apakah ini salah satu kehendak konyol Tuhan yang dibiarkan oleh para malaikat, atau permainan sadis iblis yang diacuhkan oleh Tuhan.

Agak lama setelah aku membereskan barang-barangku, orangtuaku masuk ke dalam villa dengan tergesa-gesa. Mereka mengatakan bahwa Akari telah meninggal karena tenggelam di pantai.

“Kalau begitu, aku pergi duluan ke pantai ya, Hikari.”
Akari berlari melewatiku dan aku segera menangkap tangannya dengan wajahku yang penuh dengan kekhawatiran.
“Hikari...?”
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi? Aku ingin menjadi orang pertama yang melihatmu dalam baju renang.” Kataku dengan senyum pahit di muka pahitku.
Wajah Akari memerah. Dia segera menundukkan kepalanya serendah mungkin agar aku tak melihat rona merah tersebut. Dengan tenang, di mengangguk dan segera duduk dengan manis di bangku terdekat.

Di pantai, matahari tanpa halangan apapun  sungguh menyiksa tubuh, terutama bagi tubuh yang belum memakai sunscreen. Namun, walaupun begitu, pemandangan Akari memakai baju renang sungguh terlihat sangat manis dan menyegarkan sampai aku melupakan tubuhku yang seakan terbakar. Melihat tingkahnya yang sangat aktif hanya dapat membuatku tersenyum.
“Sesenang itu kah kau bermain di pantai seperti ini?” Aku berkata kepada Akari.
“Ahh, maaf. Seperti bukan diriku saja, ya.” Dia menjadi lebih diam dan menjaga sikapnya.
“Tentu saja, aku melihatmu sekarang berbeda dengan dirimu di saat lain, tapi itu bukanlah hal yang buruk bukan. Aku malah bahagia melihatmu sesenang itu.”
“Itu karena aku jarang berlibur keluar seperti ini, terutama bersama-sama selain orangtuaku. Selain itu, belakangan ini aku selalu berada di rumah. Karena itu, aku sangat berterima kasih kau mau mengajakku kemari, Hikari.” Dia tersenyum lebar dengan sangat manis. Senyuman yang sangat terang yang dapat menyilaukanku, mengalahkan silaunya matahari yang membakarku saat itu. Namun, walaupun terang, dapat terlihat sejumput kesedihan tercampur di dalamnya. Senyum dan rasa terima kasih yang dapat memberitahuku bahwa dia selalu terpenjara, dikekang dengan ketat oleh orangtuanya yang sangat idealis, menginginkannya untuk menjadi anak yang sangat lebih dibanding anak-anak yang lain.
“Jangan lupa untuk melakukan pemanasan sebelum masuk ke air.”
“Baiiiik~”

Aku keliru. Seharusnya aku mengetahui bahwa Akari adalah orang yang sangat teliti dan hati-hati terutama dalam menjalankan suatu prosedur yang biasanya dilakukan orang-orang. Tentu saja, sebelum ini Akari pasti melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum masuk ke air. Itu pun juga salah satu kesalahanku yang belum mendengarkan sebab kematiannya dengan lengkap.
Beberapa saat setelah masuk ke air, Akari berenang agak jauh dari pantai dan terperangkap jaring penangkap ikan. Benar-benar tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal membuatku tak ingin mendengarkan alasan kenapa bisa ada jaring penangkap ikan di pantai seperti itu. Jaring ilegal? Manusia yang ceroboh? Terbawa arus? Sudah kukatakan, aku sudah tidak perduli alasannya. Karena ini berarti Akari takkan dapat selamat selama dia masih berenang di pantai tersebut.

Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi? Aku ingin menjadi orang pertama yang melihatmu dalam baju renang.” Aku berkata dengan tenang.

Akari jatuh dari tebing untuk ke-berapa puluh kalinya. Baju renang yang awalnya terlihat putih sekarang berubah menjadi corak merah yang tak beraturan.

Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf. Maukah kau menungguku sebentar lagi?”

Akari tertimpa papan reklame untuk ke-berapa kalinya. Wajah yang awalnya terlihat sungguh manis sekarang berubah menjadi penyok yang dapat membuat orang-orang muntah.

Aku memegang tangannya.
“Ah, maaf.”

Akari meninggal keracunan makanan di restoran dekat pantai. Senyumnya yang awalnya terlihat sangat menyilaukan sekarang berubah menjadi penuh dengan muntahan dengan corak merah.
Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu. Bukanlah dunia yang menari di atas kesedihan dan keadaan kami, tapi kamilah yang dipaksa untuk menari untuk menghibur dunia sambil menahan beban kesedihan dan keadaan tersebut. Aku pernah berpikir, bahwa tidak seharusnya Akari ikut menari di atas panggung penuh hina seperti ini. Akulah yang selalu menyeretnya untuk menari, akulah yang selalu menariknya untuk ikut menahan beban tersebut.  Walaupun begitu, walaupun aku merasa akulah satu-satunya makhluk yang melakukannya dengan salah, aku tidak bisa lepas dari rasa lega akan adanya Akari di atas panggung ini bersamaku. Aku tidak bisa lepas dari rasa puas akan adanya Akari di sampingku dan membantuku menanggung semua beban yang seharusnya aku sendiri yang menahannya.


“Maaf, tapi orangtuaku belum mengijinkanku pacaran.” Kata Akari dengan pelan dan halus seakan mencoba membunuhku dengan lembut, layaknya mencincang-cincang tanpa adanya rasa sakit.
Ia menundukkan kepalanya sambil mempertemukan kedua jari telunjuknya. Saat itu, aku sadar bahwa aku telah ditolak, tapi tingkahnya yang sangat manis membuatku tetap ingin melihatnya sampai kapanpun. Mungkin inilah yang dinamakan dengan obsesi. Aku tahu obsesi bukanlah hal yang baik, namun seperti itulah yang kurasa pada saat itu.
Aku bersiap untuk menyerah dan meninggalkan kelas yang disinari sinar mentari sore tersebut. Akari, sambil berdiri di depan jendela dengan gorden yang melambai ditiup oleh angin berkata kepadaku dengan wajah yang penuh harap dan rasa bersalah.
“Tapi!! Bukan berarti aku membencimu.” Saat itulah setitik harapan mulai menyinari hatiku.
“Malah... Aku... Aku... Aku juga menyukaimu!” Dia mengatakannya sambil menahan rasa malunya dengan mata tertutup. Sungguh manis membuatku ingin membawanya pulang saat itu juga.

“Kalau begitu, jika aku dapat membujuk orangtuamu, maukah kau berpacaran denganku?” Kalimat yang seharusnya aku katakan pada saat itu. Kalimat yang sudah kuhafalkan dan kuingat layaknya skrip film yang telah ditulis dengan sangat sempurna. Namun kali ini, aku melakukan improvisasi dengan tidak mengatakannya.

Kali pertama, aku mengatakannya dan dapat membujuk orangtuanya pada akhirnya. Aku pun memperoleh berbagai macam informasi mengenai keadaan rumah tangga Akari yang sedang tidak stabil. Ayahnya adalah mantan konglomerat yang terkena tipu dan membuat perusahaannya sendiri bangkrut. Ibunya hanyalah ibu rumah tangga biasa dan terlihat sangat berbeda dengan sikap ayahnya. Jika ayahnya sangat kasar dan galak serta penuh dengan kesombongan dan harga diri, maka ibunya adalah orang yang lembut dan halus serta baik dan rendah hati. Walaupun Akari mengatakan bahwa ayahnya dulunya sangat penyayang dan baik pada setiap orang, tapi itulah yang membuatnya kehilangan perusahaannya dengan mempercayai orang yang berbuat tidak baik kepadanya. Akhirnya, ayahnya pun berubah menjadi sampah masyarakat yang masih saja memeluk kesombongan dan harga dirinya yang tinggi dengan erat.
Kalau diingat-ingat, aku sampai bertengkar keras dengan ayahnya soal menjadikan Akari pacarku. Ayahnya bersikeras mengatakan aku tak bisa apa-apa karena aku masih sekolah, aku bersikeras bahwa aku takkan menjadi manusia tak berguna sepertinya dan mendapat luka di sana-sini. Kami bertengkar dan berteriak sekuat tenaga sampai akhirnya ayahnya mengatakan bahwa aku dapat melakukan sesukaku. Kalau dipikir-pikir, dia tidak pernah mengatakan bahwa dia merestuiku berhubungan dengan Akari.
Walaupun pada awalnya dia terlihat seperti ayah yang baik yang hanya ingin membahagiakan anaknya dengan pria yang benar, kenyataannya tidak begitu. Dia hanyalah serigala berbulu domba yang mampu mengorbankan segalanya hanya untuk menjunjung tinggi harga dirinya yang bahkan tidak lebih berguna dari dirinya pada saat itu. Menusuk anaknya sendiri, membakar rumahnya sendiri, bahkan berniat melakukan bunuh diri masal dengan Akari dan istrinya sendiri. Aku benar-benar membenci orang itu sampai-sampai membuatku sangat jijik ketika melihat mukanya lagi.
Sama seperti ibunya yang terlihat sangat perhatian terhadap Akari. Tidak, mungkin memang orang itu perhatian terhadap Akari, namun aku tidak bisa mengesampingkan kenyataan bahwa orang itulah juga yang membiarkan tirani seperti suaminya bertindak sesukanya, mengontrol kehidupan keluarga tersebut dengan sewenang-wenang, memonopoli dan korup terhadap kasih sayang yang seharusnya ada dalam rumah tangga tersebut. Sedari awal dan pada akhirnya, ibunya tak dapat melakukan apapun dan hanya diam tak berdaya melihat kebrutalan manusia bengis tersebut. Tidak, lebih tepat disebut bahwa ia memilih tak melakukan apapun untuk melawan hewan buas tersebut. Aku juga membenci orang ini.
Namun, sebagaimana sesuatu yang tak dapat dihindari, mereka adalah orangtua biologis, orangtua yang membesarkan dan merawat Akari, orang-orang yang dicintai oleh seseorang yang kucintai. Mungkin akan lebih sangat tepat, kalau aku mengatakan bahwa aku membenci diriku sendiri yang tak akan pernah dapat menerima mereka sebagai bagian dari hidupku.

Hari itu adalah hari di mana aku menyatakan cintaku kepada Akari. Kalimat yang tak akan pernah kulupa karena selalu terulang-ulang di kepalaku layaknya kaset rusak, kali ini aku tidak mengatakannya. Aku tidak mengatakan kalimat tersebut. Aku hanya dapat tersenyum dengan manis sambil menahan kesedihan dan kata-kata tersebut yang berebut ingin didengungkan dengan pita suaraku.
Sampai di rumah, aku menangis di depan kaca kamar mandi yang merefleksikan rasa sakit dan perih yang kurasakan.

“Hey, Akari, mau makan siang denganku?” Aku mendekatinya pada saat jam istirahat.
“Ah, maaf. Aku agak sibuk dan sepertinya tak akan sempat makan siang hari ini.” Dia berkata dengan nada sedih dan senyum pahit yang penuh dengan rasa bersalah.
Mulai hari itu, Akari mulai menjauhiku. Dia selalu mengatakan bahwa dia sibuk dengan segala hal, namun aku dapat merasakan bahwa orangtuanya, lebih tepat ayahnya, mulai mengekangknya dalam segala  hal tersebut.

Sejauh ini, aku melihat Akari sebagai gadis yang sangat hebat dan kuat. Karena sampai saat ini, ada satu pola kematian yang tak pernah terjadi oleh Akari. Namun kali ini aku akhirnya menyadari, bahwa sebelum menjadi pacarku, anak dari orangtuanya, dan gadis yang kuat, Akari hanyalah seorang manusia normal.
Bayangkan segala kemuakkan, hal-hal yang menjijikkan serta menyakitkan, hal-hal yang membuatmu tak betah,  hal-hal yang membuatmu seperti terkekang dan membuatmu ingin segera lepas darinya, serta segala hal-hal yang membuat hatimu gulita karena ditelannya semua cahaya yang tersisa dengan kegelapan, berkumpul menjadi satu dan menibanmu dengan segala kenistaannya tanpa adanya bantuan dari hal-hal yang membuatmu merasakan kepuasan akan kehidupan di dunia. Ya, siapapun takkan tahan, sama seperti apa yang terjadi pada Akari.
Pagi hari, Akari ditemukan tak bernyawa dengan luka sayatan yang sangat dalam di pergelangan tangannya. Sosoknya tergeletak saat itu sungguh cantik dan khidmat, begitulah pikirku.

Jadi, apa yang dapat membuatnya melakukan hal yang tak pernah dilakukan bahkan setelah beratus-ratus kali aku mengulang hal yang sama? Bukan karena tidak adanya hal yang dapat membantunya mengangkat segala keburukkan. Namun justru karena ia tahu akan adanya hal tersebut, tapi sadar bahwa hal tersebut tidak membantunya mengangkat segala keburukan tersebut. Ditinggalkan oleh sedikit perasaan positif yang membawa segala perasaan-perasaan positif yang tersisa, maka yang tetinggal hanyalah perasaan-perasaan negatif yang menjadi penarik hal-hal negatif yang menimpanya sampai saat ini. Dengan kata lain, diriku sendiri.

Aku memang telah membenci dunia jauh sebelum itu, tapi pada saat ini aku menyadari bahwa tidak ada dunia yang tersisa untuk kubenci. Dan pada akhirnya, aku pun hanya dapat membenci diriku sendiri.



Sebuah penghapus jatuh ke lantai, melahirkan suara kecil yang dapat menggetarkan hati. Aku tak menoleh ke suara tersebut dan tetap menatap lapangan kosong lewat jendela kelas, mengacuhkan keduanya, guru yang sedang mengajar dan suara benturan penghapus dengan lantai ubin yang mengiringi jeritan hatiku. Itulah saat di mana aku berkenalan dengan Akari. Dengan hal sepele seperti mengambilkan penghapusnya yang jatuh dan dengan hal sepele seperti kata-katanya yang pertama kali kudengar dari mulutnya; “Terima kasih”. Ya, sungguh hal yang sepele yang dapat mengubah hidupku selamanya.



Seperti yang dijanjikan, Akari tidak ingat apapun tentangku. Siapa nama lengkapku, di mana alamat rumahku, kapan aku berulang tahun, kenapa aku terlihat seperti tak mempunyai teman, bagaimana aku melihat dunia, dan apa hubunganku dengannya. Dia tak ingat satu hal pun. Dia hanya menjalani kehidupannya dengan normal layaknya gadis-gadis biasa tanpa adanya diriku di sampingnya.

Ini semua untuk yang terbaik, ini semua untuk yang terbaik, begitulah kata-kata yang berulang-ulang kali kuucapkan layaknya seorang penyihir yang sedang melafalkan mantranya.
Musim-musim mulai berganti, waktu bergulir kembali. Tahun pun mulai bergilir, dan sekarang aku sudah menjadi pelajar SMA.  Aku berjalan dengan santai sambil memikul tasku dengan lesu.
Waktu pulang sekolah, anak-anak yang tak mengikuti klub apapun segera beranjak pulang. Di seberang jalan, sekumpulan perempuan sedang berbincang-bincang dengan suara yang kencang dan senyum bahagia tertempel di wajah mereka masing-masing. Di arah yang lain, suara jangkrik dengan merdu merasuk melalui telingaku. Salah satu dari perempuan-perempuan itu pun menoleh dan berbalik badan untuk melihatku. Ia lalu berlari ke arahku tanpa menghiraukan teman-temannya yang sedang tertawa. Tanpa melihat-lihat, ia berlari ke arahku melewati jalan raya tersebut. *Tiiiiiiin* Ya, pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar berubah.

Untuk apa aku hidup? Demi apa aku dilahirkan ke dunia ini? Apakah hanya untuk menjadi alat pengisi kebosanan Tuhan? Apa itu keajaiban? Apakah sesuatu yang seperti itu ada di dunia? Apakah benar-benar ada orang yang pernah menyaksikan suatu keajaiban? Apa itu cinta? Apakah sesuatu yang layak untuk dimiliki manusia? Apakah benar-benar ada orang yang telah mendapatkan dan telah sepenuhnya mengerti hal tersebut? Apa itu kehidupan? Apakah sesuatu yang berhubungan dengan takdir? Apakah takdir benar-benar ada di dunia ini? Apa itu kehidupan? Apakah sesuatu yang telah ditentukan secara ultimatum oleh Tuhan sehingga kita tidak bisa mengubahnya?

Aku membenci diriku sendiri. Pada akhirnya, hanya waktulah yang aku dapatkan dengan menukar waktuku yang lain. Dan dengan waktu yang kudapatkan dengan sia-sia tersebut, aku hanya dapat berpikir sambil terjebak di dalamnya. Di tempat yang tak memiliki apapun kecuali waktu, aku mengorbankan seluruh waktuku hanya untuk menyadari bahwa aku tak bisa mengembalikan waktu yang telah terpakai dan hilang. Sebuah pelajaran, setidaknya itulah yang aku pikir bisa aku dapatkan. Suatu keoptimisan yang tidak kumiliki sedari dulu. Mungkin karena ada sesuatu yang membuatku harus berpikir seperti itu.
Aku membenci diriku sendiri. Terperangkap dalam waktu yang tak berjalan ke mana pun, aku hanya diam termangun memikirkan segala hal yang terlintas dalam pikiranku. Semakin lama aku berpikir, semakin semuanya menjadi tidak masuk akal. Tapi hanya berpikirlah yang dapat aku lakukan di dunia yang hanya memiliki waktu seperti ini. Aku pun mencoba untuk menjadi terbiasa dengan segala pikiran-pikiran dan ide-ide semu yang tak masuk akal.
Aku membenci diriku sendiri. Terlarut dalam bayang-bayang kasih sayang dan cinta, mati ketika kasih sayang dan cinta tersebut direnggut dariku. Terbelenggu dan terhenti di dalam waktu yang kubekukan oleh diriku sendiri, aku hanya dapat menghela nafas sambil mendengarkan cerita tanpa suara dengan diriku sendiri sebagai pemainnya.
Aku membenci diriku sendiri. Sungguh sangat disayangkan ketika mengetahui bahwa cerita di mana aku sebagai pemainnya tersebut adalah cerita tragedi di mana tidak akan ada dunia di mana semua orang berbahagia. Sungguh sangat disayangkan ketika mengetahui bahwa cerita di mana aku sebagai pemainnya tersebut diakhiri dengan sesuatu yang bukan dengan akhir bahagia layaknya cerita-cerita lain yang membuat iri atas penutupnya.
Aku membenci diriku sendiri. Membiarkan diriku dipermainkan dan dijadikan alat penghibur tanpa memperhatikan perasaanku sedikitpun, aku memaki diriku sendiri. Menari-nari di atas panggung sambil mencari jalan keluar dari opera yang memuakkan, aku hanya dapat menemukan latar baru untuk memulai adegan baru yang belum aku mainkan.
Aku membenci diriku sendiri. Pada akhirnya, aku hanya dapat duduk menonton semua rekaman tarian menyedihkan yang aku lakukan sendiri. Merefleksikan kebodohanku yang mau diperalat oleh benang-benang tak terlihat layaknya seorang boneka.
Aku membenci diriku sendiri. Tidak ada lagi dunia bagi diriku, tidak ada lagi tempat bagi diriku. Semua yang kulihat di dunia ini berubah menjadi satu-satunya yang hampir tak terpengaruh oleh waktu, yaitu pecahan-pecahan yang tanpa disadari berkumpul menjadi satu membentuk gambar pemandangan yang tak berhenti aku tatap walaupun aku telah muak berada di depannya.
Aku membenci diriku sendiri. Sekali lagi aku terus berpikir, apakah keajaiban benar-benar sesuatu yang nyata di dunia ini? Atau hanya aku saja yang tak berhak mendapatkannya di dunia sama sekali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar